Wakil Presiden Kamala Harris. Foto: BPMI Setpres/Agus Suparto
Wakil Presiden Kamala Harris. Foto: BPMI Setpres/Agus Suparto

Kamala Harris dan Optimisme Baru Demokrat

Willy Haryono • 26 Juli 2024 11:27
Jajaran petinggi Partai Demokrat serta para pendukungnya di seantero Amerika Serikat khawatir setelah melihat performa buruk Presiden Joe Biden dalam debat melawan Donald Trump pada 27 Juni 2024. Kekhawatiran semakin meningkat setelah Biden berulang kali menolak seruan mundur dari pencalonan.
 
Semangat Demokrat kian terpuruk setelah terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Trump di Pennsylvania, di mana perisiwa tersebut diyakini semakin mendorong citra sang eks presiden untuk menang dalam pemilu AS pada November mendatang. Banyak orang, bahkan di negara-negara lain, memprediksi Trump akan menang mudah dalam pemilu tahun ini.
 
Namun pada 21 Juli, kejutan politik terjadi. Biden mundur dari pencalonan dan mendukung Wakil Presiden Kamala Harris untuk menjadi calon presiden. Entah disengaja atau tidak, keputusan Biden ini -,disebut Barack Obama sebagai tindakan patriot sejati,- dinilai banyak pihak sebagai langkah brilian, sebuah masterstroke, yang dapat membalikkan keadaan di peta perpolitikan Negeri Paman Sam.

Harris sudah mendapat cukup dukungan untuk menjadi calon presiden Demokrat. Ia memberikan energi baru di kalangan Demokrat, dan dengan semangat berapi-api, hadir dalam kampanye perdananya di Wisconsin.
 
Tepuk tangan dan sorak sorai terdengar sepanjang acara kampanye Harris. Biden tidak pernah mendapat dukungan semeriah itu, dan ia juga tidak dapat memancarkan energi dan optimisme seperti Harris kepada sebagian warga AS yang sangat ingin meninggalkan era politik 'orang lanjut usia.'
 
Pidato Harris, dengan durasi hanya 17 menit, disebut-sebut sebagai "pembentukan kembali" identitasnya. Ia sempat kesulitan mendefinisikan dirinya sendiri saat menjabat posisi wakil presiden. Kamala yang "baru" ini, dengan didukung sebagian besar petinggi Demokrat, memancarkan aura percaya diri dan nyaman dengan dirinya sendiri serta pesan-pesan yang disampaikannya.
 
Harris menyimpulkan alasan utama pencalonannya di pemilu tahun ini dengan pertanyaan sederhana: "Apakah kita ingin hidup di negara bebas, penuh kasih sayang, dan menjunjung tinggi hukum, atau negara penuh kekacauan, ketakutan, dan kebencian?" Harris berjanji memperkuat kelas menengah, memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan, serta berfokus pada masa depan negara.
 
Trump dan Partai Republik kini sudah tidak bisa lagi menggunakan alasan usia untuk menyerang Demokrat, karena Harris merupakan politikus yang relatif muda di usia 59 tahun. Justru isu usia ini dapat digunakan Harris untuk menyerang Trump, yang saat ini sudah berusia 78 tahun.
 
Dengan latar belakang sebagai jaksa, Harris juga dapat menggunakan status Trump sebagai terdakwa dalam beberapa kasus kriminal. Dalam pidato di Delaware, Harris mengatakan bahwa dirinya sudah menemui berbagai jenis kriminal selama kariernya, dan ia tahu tipe seperti apa Trump itu.
 
Setelah Biden mundur, Trump mengatakan bahwa Harris adalah lawan yang lebih mudah dikalahkan. Namun Trump, yang sangat memahami kekuatan dari sebuah citra, kemungkinan sangat mewaspadai kemunculan Harris sebagai rival pemilu.
 
Kualitas Harris sebenarnya pernah secara tidak langsung diakui Trump di masa lalu pada periode 2011-2014. Kala itu, Trump pernah menyumbang total USD6000 kepada Harris yang sedang mencalonkan diri untuk menjadi Jaksa Agung California. Putri Trump, Ivanka, juga menyumbang USD2000 kepada Harris.
 
Harris yang pernah didukung Trump tersebut kini menjadi rival. Trump tahu seberapa signifikannya kekuatan sebuah citra, dan Harris kini dicitrakan sebagai harapan baru dan sosok energik dari Demokrat yang memiliki peluang serius untuk menang.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan