Sekitar 100 delegasi dari berbagai negara dan organisasi internasional hadir dalam KTT Perdamaian konflik Ukraina tersebut.
Diadakan di resor Burgenstock di Kota Stansstad, Swiss, KTT dihadiri Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris bersama dengan pemimpin dari Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia dan Jepang.
Apa yang dihasilkan dari pertemuan itu?
KTT berhasil meramu komunike yang dijabarkan dengan apa yang disebutnya sebagai 'visi bersama' tentang 'aspek krusial.' Dikutip dari Al Jazeera, komunike itu termasuk:Semua instalasi nuklir, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Zaporizhzhia, harus aman menurut prinsip-prinsip Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan di bawah pengawasan IAEA.
Kemudian arus bebas produk pertanian Ukraina harus diizinkan ke negara ketiga yang berminat. "Keamanan pangan global bergantung pada produksi dan pasokan produk pangan yang tidak terputus," kata komunike tersebut. Dokumen tersebut menggambarkan serangan terhadap kapal dagang dan infrastruktur pelabuhan sipil di Laut Hitam dan Laut Azov sebagai "tidak dapat diterima."
Komunike juga menyebutkan, semua tahanan harus dipertukarkan dan semua warga sipil Ukraina yang telah mengungsi secara tidak sah harus dikembalikan ke Ukraina. Secara khusus, komunike tersebut mengatakan, "semua anak-anak Ukraina yang dideportasi dan mengungsi secara tidak sah, dan semua warga sipil Ukraina lainnya yang ditahan secara tidak sah, harus dikembalikan ke Ukraina". Menurut Ukraina, 20.000 anak telah diambil oleh otoritas Rusia selama perang.
Isi komunike ini tentu sudah sangat sesuai dan sudah sepatutnya didukung. Namun pada akhirnya secara keseluruhan, 82 delegasi menandatangani untuk mendukung komunike tersebut. Presiden Swiss Viola Amherd mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa ‘sebagian besar’ peserta menyetujui dokumen tersebut.
Dua perhatian
Meski komunike didukung, tetapi ada beberapa negara yang berpengaruh memutuskan untuk tidak menandatanginya.India, Meksiko, Arab Saudi, Afrika Selatan, Thailand, Indonesia, dan Uni Emirat Arab menghadiri pertemuan puncak tersebut, yang diwakili oleh menteri luar negeri dan utusan, tetapi termasuk di antara mereka yang tidak menandatangani komunike bersama.
Brasil menghadiri pertemuan puncak Ukraina sebagai pengamat, tetapi tidak mendukung komunike tersebut.
Tiongkok juga tidak menghadiri acara dua hari tersebut. Pakistan, yang menganggap Tiongkok sebagai sekutu terdekatnya, diundang tetapi memilih untuk tidak hadir.
Apa alasan negara-negara ini tidak ikut memberikan tanda tangan komunike? Ada dua hal yang menggelitik. Pertama ketidakhadiran Rusia dan kehadiran Israel yang saat ini tengah disorot atas tindakan genosida terhadap warga Palestina di Gaza.
Untuk poin pertama jelas bahwa perang yang terjadi melibatkan Ukraina dan Rusia. Tidak diundangnya Rusia menjadi keanehan, karena dua negara yang berseteru ini seharusnya yang duduk bersama menyelesaikan masalahnya.
Seperti yang diutarakan oleh Hans J Morgenthau bahwa perdamaian kemungkinan besar dapat diraih melalui balance of power atau keseimbangan kekuatan, di mana tidak ada satu negara pun yang dapat mendominasi negara lain. Keseimbangan ini menghambat agresi, karena calon agresor terhalang oleh prospek menghadapi koalisi kekuatan yang berlawanan.
Pelibatan Rusia dalam upaya damai turut menjadi sorotan dari negara yang tidak menandatangani komunike itu. India dan Arab Saudi dalam pernyataannya menyoroti ketidakhadiran Rusia yang seharusnya bisa menjadi peta jalan damai.
Hal kedua yang patut menjadi perhatian adalah, kehadiran Israel dalam KTT ini. Israel didakwa oleh Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida di Gaza. Dakwaan itu diajukan oleh Afrika Selatan.
Itu sebabnya Afrika Selatan melontarkan pertanyaan mengapa Israel hadir dalam KTT ini. Penasihat Keamanan Nasional Afsel Sydney Mufamadi membacakan sikap negaranya.
"Mengejutkan bahwa pada konferensi ini, Israel hadir dan berpartisipasi, lima hari setelah sebuah komisi yang didukung PBB menuduh Israel melakukan kejahatan perang terhadap Palestina,” sebut Mufamadi.
Mufamadi mempertanyakan keabsahan sebuah komunike yang menurut para sponsornya didorong oleh ‘penghormatan terhadap hukum internasional’ padahal Israel telah dituduh oleh banyak pejabat PBB melanggar hukum internasional.
Sementara Indonesia melalui pernyataan Kementerian Luar Negeri RI menyebutkan bahwa hukum internasional, termasuk hukum kemanusiaan internasional dan Piagam PBB, harus ditegakkan, tidak hanya di Ukraina tapi juga di Gaza.
Indonesia menilai komunike akan lebih efektif bila disusun secara inklusif dan berimbang.
Carl von Clausewitz dalam bukunya ‘On War’ menyatakan bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Sepatutnya, damai juga bisa menjadi kelanjutan politik dari pihak-pihak yang tengah bertikai saat ini.
Baca juga: Munafiknya PM Kanada, Sebut Rusia Lakukan Genosida Tetapi Tidak untuk Israel
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News