medcom.id, Jakarta: Pada Selasa 29 Agustus pukul 05.57 pagi, waktu Korea Utara (Korut) melepaskan tembakan rudal balistik antar benua (ICBM). Rudal melintas ke wilayah utara Jepang.
Sontak, apa yang dilakukan Korut ini memicu rentetan kecaman terhadap negeri Kim Jong-Un itu. Jepang pun kalang kabut dengan ulah Korut dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyebut tindakan Korut sangat memalukan.
Rudal ini mampu terbang hingga jarak 2.700 kilometer (km) dan menggapai ketinggian maksimum 550 km. Amerika Serikat di lain pihak menyebutkan rudal yang jatuh di utara Jepang itu, tidak menyisakan ancaman berarti ke wilayah mereka karena pangkalan militer AS di Guam mencapai 3.500 km dari Korut.
Tetapi militer AS saat ini terus menganalisa detail dari peluncuran rudal balistik antar benua (ICBM) itu.
Muncul pertanyaan, apa sebab Korut melakukan peluncuran rudal semacam ini? Padahal pada 26 Agustus lalu, Korut meluncurkan tiga tembakan rudal jarak pendek.
Korsel, AS dan Jepang menilai Korut sudah melakukan provokasi luar biasa di kawasan Semenanjung Korea. Sementara Tiongkok sebagai sekutu terdekat Korut, menilai insiden saat ini mencapai titik krisis yang sangat krusial.
Sidang darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), menjadi satu-satunya mekanisme tepat untuk membahas tindakan apa yang akan diambil terhadap Korut. Hal ini sudah dilakukan oleh PM Abe dengan Presiden AS Donald Trump yang dalam komunikasi teleponnya akan mengajukan pertemuan darurat di DK PBB.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana kepada Metrotvnews.com mengatakan, "Sudah waktunya ada Sidang Darurat DK PBB. Ini masalahnya tidak hanya mengancam keamanan Jepang, tetapi mengancam perdamaian dunia dan keamanan internasional."
Tetapi, Korut bukannya tanpa sanksi. Berbagai sanksi telah dijatuhkan kepada negara itu, yang membuatnya makin terisolasi dari komunitas internasional. Apa yang telah dilakukan Korut ini dinilai bertentangan dengan kewajiban mereka terhadap resolusi DK PBB terkait, khususnya resolusi 2270 dan 2321 yang dikeluarkan pada 2016, kemudian resolusi 2356 dan 2371 yang dirilis pada 2017.
Namun pada akhirnya, di bawah kepemimpinan Kim Jong-un, negara ini seperti tidak ada henti-hentinya memicu kerawanan di Semenanjung Korea.
Satu hal yang juga harus diperhatikan. Meminjam pernyataan dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying, pihak-pihak seperti Korsel dan Amerika Serikat tak bisa dipungkiri memicu ketegangan yang terjadi. Kedua negara sekutu itu memang tengah melakukan latihan militer di wilayah Semenanjung Korea, yang sebelumnya Korut sudah mengancam akan bertindak jika latihan itu tetap dilaksanakan.
Kini yang sangat penting dilakukan adalah semua pihak yang terlibat bisa menahan diri. Mereka harus menghindari hal-hal yang bisa memancing keributan. Pemerintah Indonesia pun melontarkan kecaman atas kejadian ini.
"Negara-negara yang selama ini tidak berhadapan dengan Korea Utara seperti Indonesia ada baiknya untuk membuat statement kepada Korea Utara. Statement dimaksudkan agar Korea Utara turut menjaga perdamaian dunia dan keamanan internasional," tutur Hikmahanto.
"Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Bagi Indonesia, tidak ada pengaruh langsung atas insiden ini. Dan bila diundang Korut untuk menjadi konsiliator tentu harus bersedia," pungkas pengamat yang juga menjadi pemerhati isu-isu hubungan internasional itu.
Perang Korea
Korea Selatan dan Korea Utara pada dasarnya masih dalam kondisi perang. Perang Korea yang berakhir pada 1953, tidak berakhir dengan kesepakatan damai melainkan gencatan senjata.
Peluncuran rudal yang terjadi saat ini, menggemakan kemungkinan pecah perang. Namun menurut Hikhamahanto hal tersebut kemungkinan besar tidak akan terjadi.
"Menurut saya (perang) tidak akan terjadi. Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat akan sangat berhati-hati, karena yang mereka hadapi bukanlah kepala negara yang biasa," sebut Hikhmahanto, merunut kepada Kim Jong-Un.
Kembali Hikmahanto menyebutkan bahwa untuk hal segenting ini, organisasi internasional yang paling berkompeten untuk mengurusi adalah PBB.
Peran sekutu Korut
Tiongkok selama ini dianggap memiliki peran penting untuk berperan 'mengatasi' Korut. Sebagai sekutu penting, negara-negara di DK PBB sangat mengharapkan Tiongkok bisa menekan Korut.
Kedua negara memiliki sejarah panjang dalam hubungan mereka. Bukan hanya memiliki perbatasan bersama sepanjang 1.400 kilometer, kedua negara juga membangun hubungan diplomatik dan ekonomi yang sangat signifikan.
Sebagai negara besar, Tiongkok masih terikat dengan perjanjian pertahanan yang disepakati bersama Korut pada 1961. Perjanjian ini mencakup kerja sama pertahanan dan bantuan yang menguntungkan kedua negara dan akan diperbaharui pada 2021. Bahkan Tiongkok menjadi rekan dagang terbesar dari bagi Korut dan menyediakan kelangsungan hidup bagi warga sekitar.
Oleh sebab itu, Beijing kerap kali dikritik oleh dunia internasional khususnya Amerika Serikat karena seperti enggan menerapkan tekanan ekonomi kepada negara tetangganya yang terus membandel ini. Tetapi pemerintahan Presiden Xi Jinping beberapa kali menyepakati resolusi sanksi terhadap Korut, seperti melarang perdagangan batu bara.
Tetapi apakah hal tersebut bisa memepengaruhi sikap Korut. Ini yang membuat Tiongkok dilema menghadapi Korut.
Beberapa kali Negeri Tirai Bambu menyuarakan kekhawatiran atas situasi yang berkembang di Semenanjung Korea. Tentu saja yang paling utama adalah kelangsungan pemerintahan Korut saat ini.
Jika rezim Kim Jong-un runtuh, Tiongkok khawatir harus menghadapi aliran pengungsi jutaan warga Korut di perbatasan. Selain itu, kekhawatiran terbesar Tiongkok adalah kemungkinan bersatunya Korea yang bersahabat dengan AS, tentunya dengan kehadiran militer Negeri Paman Sam di kawasan yang bisa menganggu eksistensi Tiongkok di Semenanjung Korea atau bahkan Asia Timur.
Sebagai hasil, Tiongkok sangat berhati-hati memotong bantuan atau perjanjian perdagangan dengan Korut.
Namun seperti yang diucapkan oleh Hua Chunying, Tiongkok selama ini mendukung sanksi yang dikeluarkan oleh DK PBB terhadap Korut. Tetapi mereka juga mendorong dilakukannya pembicaraan damai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News