Wilayah Jenin diserang oleh pasukan Israel. Foto: EFE
Wilayah Jenin diserang oleh pasukan Israel. Foto: EFE

Krisis Jenin dan Siklus Kekerasan Tanpa Akhir Israel-Palestina

Willy Haryono • 05 Juli 2023 17:20
Jakarta: Militer Israel kerap melancarkan operasi antiterorisme ke Tepi Barat, termasuk Jenin, dari waktu ke waktu. Secara umum, alasan Israel adalah menargetkan beberapa individu yang diklaim hendak atau sudah melancarkan aksi teror.
 
Namun pada Senin kemarin, 3 Juli 2023, operasi militer Israel di Jenin berlangsung dalam skala yang belum pernah terlihat lagi dalam beberapa tahun terakhir.
 
Tentara Israel menyerang Jenin di Tepi Barat dengan kendaraan lapis baja, drone, dan roket, dan babak baru dalam konflik Israel-Palestina pun dimulai. Pertempuran kali ini, seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya, menelan korban dari kedua kubu, terutama di kalangan warga Palestina.

Setidaknya 12 warga Palestina tewas dalam operasi militer Israel selama dua hari di Jenin. Pada Selasa malam, Israel kemudian memutuskan menarik pasukan dari sana, walau pertempuran sengit masih berlangsung saat itu. Kelompok Hamas kemudian meluncurkan sejumlah roket, dan Israel pun melancarkan serangan udara sebagai balasan.
 
Ketika berbicara tentang "perang tanpa akhir" di Timur Tengah, tidak ada yang dapat menandingi lingkaran kematian dan kehancuran berkelanjutan antara Israel dan Palestina. Proses perdamaian antar kedua kubu terus dibicarakan, atau bahkan diupayakan, namun selalu gagal.
 
Saat Israel pertama kali menaklukkan Tepi Barat dalam perang 1967, Amerika Serikat (AS) bergabung dengan anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) lainnya dalam mendukung Resolusi 242.
 
"Menekankan tidak dapat diterimanya akuisisi wilayah oleh perang, dan perlunya bekerja untuk perdamaian adil dan abadi di mana setiap negara di wilayah tersebut dapat hidup dengan aman," tulis Resolusi 242. Resolusi tersebut mengusulkan "penarikan angkatan bersenjata Israel dari wilayah yang diduduki dalam konflik baru-baru ini." Resolusi tersebut tidak menuntut penarikan dari semua wilayah yang direbut, hanya "sejumlah wilayah."
 
Israel memperluas wilayah pendudukannya dalam perang 1973. PBB menanggapinya dengan Resolusi 338, yang menambahkan tuntutan bahwa "perundingan harus dimulai antara pihak-pihak terkait di bawah naungan tepat yang bertujuan membangun perdamaian adil dan tahan lama di Timur Tengah."
 
Sejumlah resolusi PBB ini mendorong beberapa presiden AS dan diplomat mereka untuk menemukan solusi. Jimmy Carter di Camp David; Rencana perdamaian 1982 Ronald Reagan; George H.W. Bush di konferensi Madrid; Bill Clinton di Sungai Wye; kesepakatan dekat George W. Bush dengan Perdana Menteri saat itu, Ehud Olmert; Penetapan "parameter" AS untuk perdamaian oleh Barack Obama; "Abraham Accords" Donald Trump dan proposal terkait lainnya untuk wilayah Palestina.
 
Masing-masing inisiatif AS ini gagal karena alasan dasar yang sama: tidak ada pihak yang siap mengambil risiko perselisihan internal yang akan datang dengan kompromi nyata. Para pemimpin Palestina menjauh dari kesepakatan karena mereka takut akan serangan balasan dari para ekstremis yang menginginkan semua wilayah pra-1948.
 
Warga Israel menolak persyaratan yang akan membutuhkan penarikan dari blok pemukiman utama di Tepi Barat dan membuat marah para pemukim sayap kanan. Masing-masing pihak khawatir perang saudara internal adalah harga yang harus dibayar untuk perdamaian.
 
Beberapa tokoh Palestina telah muncul dalam beberapa dekade, namun gagal mendorong solusi. Ketua Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat dan penggantinya, Mahmoud Abbas, menolak proposal yang sebenarnya dapat menciptakan negara Palestina. Alih-alih memilih kompromi, mereka memilih "martabat," dan konflik pun terus terjadi hingga kini.
 
Jenin adalah simbol kegagalan bagi Palestina dan Israel. Abbas dan Otoritas Palestina (PA) bertanggung jawab atas keamanan di sana, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, mereka semakin tidak dapat menegakkannya. Pemerintahan Abbas korup dan tidak efektif. Kegagalannya membantu menjelaskan daya tarik lebih banyak kelompok militan.
 
Keamanan adalah masalah khusus di Jenin, yang telah lama menjadi pusat perlawanan Palestina. Terlepas dari pelatihan bertahun-tahun oleh CIA dan dukungan diam-diam dari Shin Bet Israel, pasukan keamanan PA yang dipimpin kepala intelijen Majed Faraj, tidak memiliki daya tembak atau keinginan untuk menantang kehadiran kelompok Hamas dan Jihad Islam yang semakin meningkat.
 
Kamp-kamp pengungsi kota di Jenin menjadi zona terlarang dan, menurut pejabat Israel, menjadi pusat serangan militan terhadap warga Israel.
 
Krisis terbaru di Jenin adalah gambaran dari apa yang akan terjadi di masa mendatang, ketika Abbas, yang kini berusia 87 tahun, meninggal dunia. PA bisa runtuh menjadi sesuatu yang tidak ada artinya. Israel mungkin akan dipaksa untuk melanjutkan pendudukan militer skala penuh, yang dapat memicu pemberontakan atau intifada Palestina besar-besaran.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan