Kapal penjaga pantai Filipina terlibat insiden dengan kapal pejaga antai Tiongkok di Laut China Selatan. Foto: AFP
Kapal penjaga pantai Filipina terlibat insiden dengan kapal pejaga antai Tiongkok di Laut China Selatan. Foto: AFP

‘Garis Merah’ dalam Konflik Tiongkok-Filipina di Laut China Selatan

Willy Haryono • 28 Juni 2024 17:51
Ketegangan di Laut China Selatan terjadi dari waktu ke waktu, namun belakangan sepertinya semakin mengkhawatirkan. Perseteruan antara Filipina dan Tiongkok di perairan penuh sengketa tersebut semakin parah, mulai dari aksi saling kejar hingga penyemprotan meriam air dan bahkan perkelahian tangan kosong di atas kapal.
 
Selama bertahun-tahun, Tiongkok telah menegaskan klaimnya atas Laut China Selatan – sebuah upaya untuk menguasai perairan tersebut yang merupakan penghinaan terhadap keamanan beberapa negara tetangga, perdagangan global dan hukum internasional.
 
Penegasan klaim di Laut China Selatan dilakukan Tiongkok dengan memperluas pengaruhnya lewat pembangunan instalasi militer secara bertahap. Beijing melakukan penegasan ini secara perlahan dan berkala, yang tidak lantas membuat Amerika Serikat (AS) segera mengambil tindakan militer.

Perseteruan antara Filipina dan Tiongkok belum lama ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap klaim Beijing di Laut China Selatan semakin meningkat.
 
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr telah mengarahkan angkatan lautnya untuk lebih mengamankan Second Thomas Shoal, sebuah terumbu karang yang diperebutkan dan lebih dekat ke Filipina daripada ke Tiongkok. Hal ini dilakukan dengan memperkuat Sierra Madre, sebuah kapal yang sengaja dikandaskan di Laut China Selatan untuk dijadikan instalasi militer Filipina.
 
Melihat adanya upaya Filipina tersebut, Tiongkok menjadi lebih agresif. Penjaga pantai Tiongkok kerap mengejar atau menyemprotkan meriam air ke arah kapal-kapal Filipina yang menjalani misi mengantar pasokan untuk personel di Sierra Madre. Belakangan, eskalasi terjadi dan perkelahian antar kru kedua negara terjadi dengan melibatkan senjata tajam dan tangan kosong.
 
Marcos Jr telah mencoba menarik perhatian internasional terhadap masalah ini. Dia juga telah mengisyaratkan “garis merah,” dengan mengatakan bahwa jika suatu saat tindakan Tiongkok berujung pada terbunuhnya tentara Filipina, maka hal tersebut akan dianggap sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan “tindakan perang.”
 
Second Thomas Shoal terletak di tengah-tengah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina, dan merupakan jantung dari area penangkapan ikan yang dinamis. Kehilangan kendali atas wilayah tersebut akan mengancam perdagangan dan keamanan Filipina, serta merugikan banyak nelayan Filipina yang bergantung pada wilayah tersebut. Meski menghadapi langsung Tiongkok merupakan hal berbahaya, Filipina terlihat seolah sudah lelah jika harus menempuh opsi diplomatik.
 
Manila berhasil menggugat Beijing perihal Laut China Selatan melalui arbitrase berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Tribunal di tahun 2016 memutuskan bahwa Tiongkok melanggar kedaulatan sejumlah negara tetangganya, dan menegaskan kendali Filipina atas Second Thomas Shoal. Namun Beijing, salah satu penandatangan UNCLOS, mengabaikan keputusan tersebut.
 
Permohonan Filipina kepada ASEAN untuk mengambil sikap tegas terhadap Tiongkok juga tidak membuahkan hasil. Bahkan tawaran pendahulu Marcos Jr, Rodrigo Duterte, ke Beijing selama bertahun-tahun tidak memperlambat ekspansi Tiongkok di Laut China Selatan.
 
Hal ini membuat AS – dan seluruh dunia – berada dalam situasi sulit. Filipina memberi AS akses ke pangkalan militer dan memiliki perjanjian pertahanan bersama dengan Washington. Eskalasi Filipina dan Tiongkok di Laut China Selatan berisiko menyeret AS ke dalam konflik tersebut.
 
Presiden AS Joe Biden sudah mengambil sikap tegas. Ia telah mengklarifikasi bahwa cakupan dari pakta pertahanan bersama AS dan Filipina akan diperluas, bahkan jika sewaktu-waktu terjadi serangan terhadap Sierra Madre.
 
Posisi AS sebenarnya akan lebih kuat jika menjadi salah satu pihak yang meratifikasi UNCLOS, namun sayangnya tidak. Biden kini hanya berupaya memperkuat penyangga Indo-Pasifik terhadap Tiongkok dengan memperkuat komitmennya terhadap Filipina dan Jepang.
 
Biden sebenarnya bisa berbuat lebih banyak untuk menangani pengaruh Tiongkok yang berlebihan di kawasan. Ia perlu meningkatkan upaya diplomatis dengan beberapa negara di kawasan, termasuk Vietnam, Malaysia dan Indonesia. Penguatan hubungan dapat dilakukan di berbagai bidang, terutama yang berhubungan dengan bidang keamanan laut. Washington perlu lebih mendekatkan diri dengan negara-negara ini, yang secara tradisional merupakan sahabat Tiongkok.
 
Kembali ke awal, ketegangan di Laut China Selatan memang tidak bisa dihindari karena adanya klaim sepihak Tiongkok yang menabrak kepentingan sejumlah negara. Namun ketegangan terkini sudah begitu memprihatinkan, dan jika ada satu saja nyawa melayang, eskalasi konflik atau bahkan perang bisa saja terjadi. Semua pihak harus berhati-hati menyikapi hal ini, serta menanti hasil positif dari peningkatan komunikasi politik antara AS dan Tiongkok sejak beberapa pekan terakhir.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan