Kudeta dua tahun lalu menandai perubahan drastis dari jalan Myanmar menuju reformasi demokrasi. Militer Myanmar, dengan alasan adanya kecurangan dalam pemilihan umum pada November 2020, mengumumkan keadaan darurat dan menangkap Suu Kyi seta anggota lain dari partainya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Kudeta itu disambut dengan protes berskala masif, dengan banyak orang turun ke jalan untuk menuntut pemulihan pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Tanggapan junta Myanmar terhadap protes cenderung brutal. Pasukan keamanan menggunakan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa damai, yang hanya ingin agar negaranya kembali ke jalur demokrasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa lebih dari 700 orang telah dibunuh, dengan ribuan lainnya ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, disiksa, dianiaya, dan lainnya. Junta Myanmar juga memberlakukan penyensoran serta pembatasan yang ketat terhadap media, mempersulit dunia untuk sepenuhnya memahami ruang lingkup krisis di negara tersebut.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menghadapi represi ini, rakyat Myanmar telah menunjukkan ketangguhan dan keberanian luar biasa. Organisasi masyarakat sipil dan kelompok etnis minoritas telah membentuk aliansi untuk melawan kekuasaan militer dan memberikan dukungan kepada mereka yang menderita akibat kudeta. Gerakan Pembangkangan Sipil, yang dipimpin pekerja medis, guru, dan pekerja penting lainnya, telah melumpuhkan sebagian infrastruktur negara dan menekan militer untuk kembali ke pemerintahan sipil.
Komunitas internasional juga berperan dalam menanggapi krisis Myanmar. PBB dan negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia telah memberlakukan sanksi terhadap junta Myanmar dan para pemimpinnya, dan menyerukan pembebasan semua tahanan politik.
Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), di mana Myanmar menjadi anggotanya, telah dikritik karena penanganannya terhadap krisis tersebut, dengan beberapa pihak menyatakan bahwa organisasi tersebut belum berbuat cukup untuk mendukung demokrasi dan hak asasi manusia di negara tersebut.
Langkah paling signifikan dari ASEAN adalah membuat 5 Poin Konsensus (5PCs) terkait isu Myanmar, yang salah satu isinya adalah seruan untuk menghentikan aksi kekerasan. Konsensus ini disepakati semua anggota ASEAN, termasuk kepala junta Jenderal Min Aung Hlaing, dalam pertemuan di Jakarta pada April 2021. Harapan sempat muncul, karena junta turut mendukung 5 Poin Konsensus yang dinilai mampu membawa Myanmar keluar dari krisis.
Namun, dua tahun berlalu, junta Myanmar belum mengimplementasikan 5 Poin Konsensus secara maksimal. Junta Myanmar belum menunjukkan tanda-tanda melunak. Beberapa menteri ASEAN pun terlihat geram atas hal ini, dan blok Asia Tenggara pun memutuskan tidak mengundang perwakilan junta dalam berbagai pertemuan. ASEAN kini hanya mengundang perwakilan non-politik dalam pertemuan resmi, termasuk The ASEAN Foreign Ministers' Retreat (AMM Retreat) and Related Meetings yang digelar di Jakarta pada 1-4 Februari 2023.
Situasi di Myanmar adalah sebuah tragedi, dan dunia harus terus bersolidaritas dengan warganya yang terus memperjuangkan hak serta kebebasan mereka. Masyarakat internasional juga harus memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dimintai pertanggungjawaban dan diadili. Ini akan membutuhkan tindakan berkelanjutan dan terpadu, termasuk sanksi spesifik terhadap individu atau entitas tertentu, tekanan diplomatik, dan dukungan untuk organisasi masyarakat sipil dan kelompok etnis minoritas.
Peringatan dua tahun kudeta Myanmar berfungsi sebagai pengingat semua bahwa perjuangan untuk demokrasi dan HAM masih berlangsung, dan kita harus tetap waspada dalam mendukung mereka yang memperjuangkan nilai-nilai ini. Rakyat Myanmar berhak atas masa depan yang dibangun di atas dasar keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap HAM. Dunia tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan mereka, dan harus terus berdiri dalam solidaritas dengan mereka sampai aspirasi mereka terwujud.
Akhir kata, situasi di Myanmar dalam dua tahun terakhir setelah kudeta merupakan pengingat akan rapuhnya demokrasi dan pentingnya tindakan internasional dalam mendukung HAM. Warga Myanmar menghadapi tantangan luar biasa, tetapi mereka juga menunjukkan keberanian dan kegigihan dalam memperjuangkan kebebasan. Komunitas global harus terus mendukung masyarakat Myanmar dalam upaya mereka mencapai masa depan yang lebih baik.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun Google News Medcom.id