Kehancuran akibat banjir yang melanda Jerman. Foto: AFP
Kehancuran akibat banjir yang melanda Jerman. Foto: AFP

Eropa Barat Dihantam Banjir Tak Terduga, Efek Perubahan Iklim?

Willy Haryono • 26 Juli 2021 06:06
Jakarta: Eropa dipandang sebagian masyarakat dunia sebagai benua yang relatif aman dari bencana banjir. Walaupun banjir sesekali terjadi di sana, dampaknya cenderung ringan tanpa menelan terlalu banyak banyak korban jiwa.
 
Warga Benua Biru juga merasa demikian, meyakini diri mereka relatif aman dari ancaman banjir dan menganggap bencana semacam itu biasanya terjadi di negara-negara Asia seperti Tiongkok atau India.
 
Lalu banjir besar itu pun datang, menghantam Eropa barat dengan kekuatan yang tak terduga. Hingga hari Minggu, 25 Juli 2021, total korban tewas telah mencapai 217 orang yang sebagian besarnya ada di Jerman. Negara lain yang terdampak adalah Austria, Belgia, Republik Ceko, Kroasia, Prancis, Italia, Luksemburg, Belanda, Romania, Swiss, dan Inggris.

Jumlah korban tewas di Jerman mencapai 177 orang, dengan 155 lainnya masih dinyatakan hilang. Korban tewas lainnya berjumlah 35 di Belgia serta masing-masing 1 di Italia, Austria, dan Romania.
 
Banjir di Eropa barat ini juga diestimasi menimbulkan kerugian materi hingga senilai EUR2,55 miliar (setara Rp43,4 triliun), yang angkanya bisa terus meningkat karena bencana masih terjadi hingga saat ini. Kanselir Jerman Angela Merkel terpukul atas bencana besar ini, sementara Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo menyebutnya sebagai "banjir paling dahsyat yang pernah melanda negara kami."
 
Bencana tak terduga sejak 12 Juli lalu itu dipicu cuaca ekstrem. Hujan deras terus mengguyur Jerman dan negara-negara tetangganya tanpa henti, dipandang sejumlah ilmuwan dan pakar sebagai dampak langsung dari perubahan iklim. Apakah benar demikian? kemungkinan besar, iya.
 
Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan atau bahkan merasakan sendiri perubahan cuaca atau temperatur di wilayah kita. Suhu udara cenderung lebih tinggi dari biasanya di pagi hari; daerah wisata yang biasanya sejuk menjadi tidak terlalu dingin lagi; panas matahari menjadi lebih terik dari biasanya; dan lain-lain.
 
Sebagian dari kita juga mungkin bertanya-tanya apakah saat ini adalah musim hujan atau musim panas, karena terkadang hujan turun sepanjang pekan, lalu disambung cuaca panas terik selama tujuh hari berturut-turut. Polanya bisa menjadi sangat acak, yang membuat kita terkadang meragukan prediksi dari badan-badan prakiraan cuaca.
 
Namun ada satu benang merah dari keanehan ini: peningkatan intensitas. Saat cuaca panas terjadi, temperaturnya terasa lebih tinggi dari yang biasa dirasakan. Sementara saat hujan terjadi, guyurannya cenderung lebih deras dari biasanya, atau berlangsung selama berhari-hari tanpa jeda. Hal ini berkaitan dengan hipotesis para ilmuwan global, bahwa perubahan iklim berkaitan erat dengan cuaca ekstrem.
 
Sebenarnya dalam bencana banjir di Eropa Barat, sejumlah pihak sudah memprediksinya beberapa hari sebelum kejadian. Indikasi awal akan terjadinya banjir pertama kali disampaikan Sistem Kewaspadaan Banjir Eropa (EFAS), dan peringatan tersebut telah disampaikan ke negara-negara yang diyakini akan terkena dampak bencana. Walau peringatan telah disampaikan, banjir di Eropa barat tetap memicu kerusakan parah di banyak negara dan menelan ratusan korban jiwa. Mungkin jika EFAS tidak mengeluarkan peringatan, angka korban bisa jauh lebih tinggi dari saat ini.
 
Di fase awal bencana banjir, juru bicara dari badan meteorologi Jerman, Deutscher Wetterdienst (DMD), mengaku telah menyampaikan peringatan banjir kepada sejumlah pemerintah daerah. Dalam sistem di Jerman, wewenang untuk menyerukan evakuasi berada di tangan otoritas lokal, bukan pemerintah federal. Terlambatnya evakuasi warga yang berujung pada ratusan kematian di Jerman diyakini sebagai efek dari lemahnya penyampaian komunikasi serta koordinasi antar otoritas.
 
Ada juga tiga dugaan mengapa peringatan bencana ini tidak mampu mencegah terjadinya kematian. Pertama, pesan yang disampaikan tidak diterima orang yang tepat; kedua, pesan yang disampaikan salah; dan ketiga, pesannya sampai tapi tidak ada orang yang percaya -- atau gabungan dari ketiganya.
 
Mengenai kepercayaan, sayangnya, hingga kini masih ada banyak orang yang tidak percaya terhadap perubahan iklim. Ada juga segelintir orang yang 'setengah percaya,' artinya mengakui adanya perubahan tak biasa dalam hal cuaca, namun meyakini efeknya tidak akan terlalu signifikan terhadap kehidupan. Ketidakpercayaan atau keraguan ini cenderung berbahaya, karena dapat menghambat upaya global dalam memitigasi dampak buruk perubahan iklim.
 
Komunitas global perlu lebih vokal lagi dalam menyuarakan ancaman nyata dari perubahan iklim, demi menghindari -- atau setidaknya meminimalisasi -- efek bencana alam berskala besar di tempat-tempat tak terduga di masa mendatang.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan