Ada kekhawatiran besar terkait kegagalan untuk melakukan penghadangan terhadap Samy Amimour,-salah satu pelaku pengeboman bunuh diri di serangan di Paris- yang melakukan aksinya di Teater Bataclan.
Dakwaan sempat diarahkan kepada pria berusia 28 tahun tersebut di Prancis pada 2012, setelah dia berupaya untuk pergi ke Yaman. Namun anehnya, Amimour masih bisa bepergian ke Suriah satu tahun berikutnya dan memicu dikeluarkannya surat penangkapan terhadap dirinya.
Meskipun sudah ada surat penangkapan, tetap saja Amimour masih bisa menyelinap masuk ke Prancis dan melakukan aksi penyerangan di Paris.
"Kami punya masalah pengawasan perbatasan Schengen, sebuah masalah besar," ujar mantan Kepala badan intelijen Prancis DGSE, untuk urusan eksternal, Alain Chouet, seperti dikutip AFP, Selasa (17/11/2015).
"Seharusnya kedatangan Amimour ke Prancis memicu peringatan. Tetapi orang-orang ini sangat mengerti teknik keluar masuk di wilayah Schengen. Mereka sudah mempraktikannya berulang kali," lanjutnya.
Pihak intelijen, khususnya intelijen Prancis juga seperti tidak acuh ketika pelaku serangan lainnya, Omar Ismail Mostefai. Mostefai adalah pelaku yang meledakan diri dengan bom di Teater Bataclan. Dia sudah diawasi sejak 2010 dan masuk dalam kategori "S-file" atau ekstrimis dalam data intelijen Prancis.
Turki bahkan sudah memperingatkan Prancis bahwa Mostefai terlibat ancaman potensial dalam kejadian terpisah, pada Desember dan Januari. Saat itu, dia baru saja bepergian dari Turki pada 2013 dengan tujuan ke Suriah.
"Tetapi Turki tidak pernah mendapatkan resposn dari Prancis," tutur seorang pejabat intelijen senior Turki di Ankara.
Tidak hanya Prancis, Belgia juga menjadi masalah besar bagi keamanan di Eropa. Beberapa pelaku penyerangan termasuk otaknya, diketahui kiprahnya polisi setempat tetapi tidak ada tindakan apapun untuk melacak pergerakan mereka.
"Anda harus mengerti, jika Belgia tidak memperingatkan kami, maka kami tidak bisa berbuat apapun," tutur seorang pejabat Kepolisian Prancis pada Senin (16/11/2015).
Meskipun dipenuhi kritikan, para pengamat menyebutkan besar skala tantangan membuatnya tidak mungkin untuk melacak rencana teror.
"Tetap kesalahan akan ditujukan kepada intelijen Prancis, tetapi melihat banyaknya orang yang harus diawasi sangat sulit bagi mereka untuk bertindak," sebut pengamat keamanan Prancis untuk IHS Country Risk di London, Kit Nicholl.
Warga Prancis juga dinilai paling banyak yang turut berperang di Irak dan Suriah. Lebih dari 500 warga Prancis berperang bersama dengan ISIS di Suriah dan Irak. Sementara 250 sudah kembali dan masih ada 750 warga lain yang berniat ingin pergi ke Suriah dan Irak, serta 10 ribu lebih dicap sebagai ekstremis potensial.
Prancis sebelumnya mengeluarkan aturan hukum baru yang memberikan pihak berwenang untuk menyadap telepon dan percakapan melalui internet dari pihak yang dicurigai mengancam keamanan. Tetapi serangan dari Kouchi bersaudara tabloid Charlie Hebdo pada Januari 2015, "membuktikan masalah di intelijen Prancis bukan pada mengidentifikasi teroris potensial, melainkan pada sumber daya untuk melakukan analisa dan pemeriksaan," imbuh Nicholl.
"Mereka yang mendapatkan pelatihan di luar negeri, mungkin memiliki pengalaman untuk mengecoh pengawasan. Entah dengan menghindari komunikasi langsung atau menggunakan teknologi dengan sandi yang canggih, sehingga membuat pihak intelijen mengalami kesulitan," Nicholl menjelaskan.
Menurut spesialis kontra terorisme untuk DGSE (intelijien Prancis) yang enggan disebutkan namanya, menyebutkan ada tiga teori mengapa serangan semacam ini terjadi di Paris.
"Entah tidak ada satu orangpun yang menyadari dan itu adalah kekhawatiran terbesar atau kami (intelijen Prancis) menyadari sesuatu dan tidak mengerti hal itu. Atau bahkan kami melihat sesuatu dan meskipun sudah melakukan berbagai cara, tetap saja serangan itu terjadi," ungkap pengamat itu.
"Hal ini menunjukkan kami memiliki masalah besar dalam intelijen atau analisa intelijen atau rantai komando di antara pihak keamanan. Tantangannya makin besar, karena pada faktanya serangan itu dipersiapkan di Belgia," ucapnya.
"Satu yang harus diingat: meskipun Belgia memiliki proporsi terbesar dalam jumlah warga yang pergi ke Suriah, mereka tidak siap untuk tugas besar. Dalam kelompok ini, banyak dari pelaku yang saling kenal di Brussels," tuturnya.
"Seseorang sudah mengacau," cetusnya.
Tetapi pada dasarnya para petugas kontra teroris terpaksa untuk melakukan pilihan sulit untuk memilih pihak yang menjadi prioritas, dengan sumber minim," menurut pengamat itu.
Masih banyak timbul pertanyaan mengenai mengapa teroris bisa melakukan serangan di Kota Mode. Pengamat teroris menyebutkan, setiap nama yang dicurigai belum tentu nama yang benar untuk diawasi.
Serangan di Paris, terjadi di enam titik wilayah. Serangan serentak itu menewaskan 129 orang dan menyebabkan 352 lainnya terluka.
Presiden Prancis Francois Hollande pun menyebutkan negaranya saat ini tengah dalam perang. Setelah ISIS mengaku bertanggungjawab atas insiden itu, Prancis pun langsung melancarkan serangan ke basis pertahanan ISIS di Raqqa, Suriah. Namun hingga kini belum diketahui hasil dari penyerangan itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id