Tanda-tanda krisis biaya hidup di negara itu terlihat dari laporan Kantor Statistik Nasional Inggris, indeks harga konsumen Inggris naik 9,9 persen per tahun. Angka ini sedikit di bawah perkiraan konsensus dari para ekonom yang disurvei oleh Reuters sebesar 10,2 persen dan turun dibandingkan Juli 10,1 persen.
Adapun inflasi Inggris secara bulanan tercatat 0,5 persen, sedikit di bawah perkiraan. Inflasi inti di luar energi, seperti alkohol, makanan, tembakau naik 0,8 persen secara bulanan atau 6,3 persen secara tahunan.
Inggris dilanda krisis biaya hidup pada tahun ini karena harga pangan dan energi meroket. Kenaikan gaji gagal mengimbangi inflasi, yang menyebabkan salah satu penurunan paling tajam dalam catatan upah riil.
Pada awal September, Perdana Menteri Inggris Liz Truss mengumumkan paket fiskal darurat yang membatasi tagihan energi rumah tangga tahunan sebesar 2.500 poundsterling (setara Rp44 juta) untuk dua tahun ke depan.
Harga energi yang melejit sebagai dampak perang Rusia dan Ukraina menyebabkan inflasi yang tinggi di Inggris. Selain itu, curah hujan yang rendah yang mengganggu produksi tanaman mengakibatkan harga makanan melonjak tinggi.
Bagai paket lengkap, periode curah hujan yang rendah terus-menerus telah membuat semakin sulit untuk bercocok tanam. Kekeringan ini bikin petani kesulitan menanam kubis, wortel dan kentang.
Rob Percival, kepala kebijakan pangan di Soil Association mengatakan sejumlah besar petani mengalami penurunan produksi sebesar 20 persen.
"Sektor buah dan sayuran tidak diragukan lagi dalam krisis. Banyak petani telah mengalami pengurangan 20 persen dalam produksi tanaman tahun ini dan sebagian besar petani mengantisipasi pengurangan lebih lanjut di tahun mendatang," katanya kepada The Guardian
Percival mendesak Pemerintah untuk campur tangan atau risiko krisis yang meledak seperti kekurangan pangan. "Tanpa tindakan segera dan terpadu dari pemerintah, diperkirakan bisnis akan bangkrut dan berkurangnya barang-barang di rak-rak supermarket," sambung dia.
Di tengah ancaman krisis yang nyata, politik Inggris pun tidak stabil. Perdana Menteri Liz Truss yang baru menjabat enam pekan terakhir mengundurkan diri pekan lalu setelah melihat ketidakstabilan di negaranya.
Salah satu alasan Truss mundur adalah karena semakin banyak pihak menuntutnya lengser, termasuk orang dalam kabinetnya sendiri.
"Saya tidak bisa meneruskan mandat yang membuat saya dipilih oleh Partai Konservatif," ujar Truss saat mengumumkan pengunduran dirinya.
Namun, Truss menyatakan bahwa ia akan tetap memimpin Inggris hingga penggantinya terpilih. Inggris bakal menggelar pemilihan PM baru pekan ini.
Truss mundur di tengah desakan publik karena berbagai krisis yang masih terus mencekik Inggris setelah ia berkuasa. Ia sempat meminta maaf atas kesalahan kebijakannya yang menyebabkan banyak investor kabur sehingga krisis ekonomi kian buruk di tengah ancaman resesi.
Kebijakan yang menyudutkan rakyat, bukannya untung malah buntung. Saat ini, Rishi Sunak, mantan menteri era Boris Johnson diunggulkan sebagai pengganti Truss.
Sunak telah meraih dukungan dari lebih 100 anggota parlemen untuk melawan dua pesaing utamanya, yaitu mantan perdana menteri yang baru mengundurkan diri September lalu Boris Johnson, dan mantan menteri kabinet Penny Mordaunt.
Siapapun yang menggantikan Truss, diharapkan dapat langsung mengubah Inggris 180 derajat menjauh dari krisis yang semakin mengancam. Hanya dengan cara itu, Negeri Ratu Elizabeth tersebut dapat lolos dari ancaman nyata krisis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News