Turki yang memiliki hubungan baik dengan Ukraina dan Rusia mengambil peran sebagai mediator. Turki memfasilitasi pertemuan antara Menteri luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov baru-baru ini. Negara anggota NATO tersebut juga berupaya mempertemukan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
"Tidak mudah untuk mencari kompromi di tengah sengitnya perang dan banyaknya korban sipil. Meskipun demikian, kami bisa mengatakan bahwa ada kemajuan," ucap Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu pekan lalu.
Sebelumnya, Juru Bicara Kepresidenan Turki Ibrahim Kalin membocorkan enam tuntutan Rusia. Pertama, Rusia meminta Ukraina untuk mengurungkan niatnya bergabung dengan NATO dan menjadi negara netral. Kedua, Negeri Beruang Merah tersebut menginginkan Ukraina untuk membatasi kekuatan militernya.
Baru-baru ini, Zelensky mengisyaratkan Ukraina tak lagi tertarik menjadi anggota NATO. Dia menuduh NATO tidak serius menanggapi proposal keanggotaan Ukraina. Pernyataan tersebut bisa menjadi angin segar dalam proses perundingan.
"Mengenai NATO, saya tidak lagi ngotot untuk mencari jawaban atas pernyataan ini setelah saya menyadari bahwa NATO tidak siap untuk menerima Ukraina," ucap Zelensky pada awal Maret.
Tuntutan ketiga Rusia berkaitan dengan apa yang disebut Putin sebagai "Denazifikasi". Keempat, Rusia meminta perlindungan terhadap Bahasa Rusia dan penuturnya di Ukraina. Kedua tuntutan ini dianggap relatif lebih mudah untuk dipenuhi.
"Turki merasa kedua tuntutan ini lebih mudah dipenuhi Zelensky," kata jurnalis BBC John Simpson setelah mewawancarai Kalin.
Namun, dua tuntutan terakhir Rusia disebut-sebut sebagai batu sandungan terbesar dalam mencapai kompromi. Rusia menuntut Ukraina untuk mengakui kemerdekaan Luhansk dan Donetsk serta menerima kedaulatan Rusia atas Krimea. Zelensky berulang kali menegaskan keutuhan wilayah Ukraina merupakan prioritas utamanya.
Masalahnya adalah Krimea, Donbas, dan wilayah sekitarnya saat ini berada dalam cengkeraman kuat Rusia. Kota Mariupol yang terletak di antara Krimea dan Donbas sudah dikepung tentara Rusia selama berhari-hari. Jika Mariupol jatuh ke tangan Rusia, bisa saja Putin menuntut lebih banyak dari Ukraina.
Mau tidak mau Zelensky harus mengambil keputusan yang sulit. Apakah dia sebaiknya segera berkompromi untuk mencegah kehilangan wilayah dan nyawa yang lebih banyak lagi. Ataukah dia lebih baik menunggu sembari berharap perlawanan pasukannya dan sanksi dari Barat bisa menjinakkan ambisi Putin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News