Situasinya bisa lebih mengkhawatirkan, karena percobaan kudeta yang gagal telah dilaporkan terjadi di Republik Afrika Tengah (CAR) dan Guinea-Bissau di awal 2023.
Dengan semakin banyaknya negara yang masuk dalam daftar kudeta, suara-suara yang mengatakan bahwa demokrasi tidak berfungsi dan tidak cocok di benua Afrika semakin kencang. Di beberapa negara, penggulingan presiden sipil biasanya diikuti perayaan jalanan oleh masyarakat yang senang atas jatuhnya pemimpin terpilih.
Walau ada dorongan untuk menafsirkan bahwa serentetan kudeta ini merupakan bukti bahwa demokrasi di Afrika sedang sekarat, tafsir semacam itu akan menjadi sebuah kesalahan. Bahkan di negara-negara di mana terjadi kudeta, mayoritas warga ingin hidup dalam demokrasi dan menolak pemerintahan otoriter.
Terlebih lagi, meski sistem multipartai politik di benua Afrika mengkhawatirkan, studi dari Universitas Cornell di Amerika Serikat menunjukkan bahwa demokrasi cenderung mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam menghadirkan layanan publik dibanding sistem pemerintahan lain.
Sebaliknya, rezim militer memiliki sejarah panjang dalam menyalahgunakan hak asasi manusia dan rentan memicu stagnasi ekonomi.
Dengan kata lain, Afrika dapat dan memang menuai keuntungan dari sistem demokrasi. Namun masalahnya, para pemimpin yang dianggap demokratis di sejumlah negara Afrika mulai menggunakan strategi yang tidak demokratis untuk mempertahankan kekuasaan mereka, di mana hal tersebut bertentangan dengan keinginan rakyat.
Di negara-negara seperti Guinea dan Mali, para pemimpin tidak kehilangan popularitas karena mereka membangun demokrasi sejati yang dirasa tidak cocok dengan realitas di benua Afrika. Para pemimpin kehilangan popularitas karena mereka menggerogoti kredensial demokrasi mereka sendiri, dalam konteks meningkatnya ketidakstabilan atau dalam kasus Burkina Faso dan Mali, pemberontakan ekstremis.
Dalam kondisi seperti itu, maka tidak heran jika masyarakat di sejumlah negara Afrika justru senang saat kudeta terjadi.
Kudeta: dinanti atau dibenci?
Di Guinea, mantan Presiden Alpha Conde secara kontroversial mengubah konstitusi di tahun 2020 untuk memungkinkannya mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan ketiga. Ini adalah strategi yang tidak populer, karena baik referendum konstitusional maupun pemilihan umum yang kemudian dimenangkannya, berlangsung tidak bebas dan adil. Condé juga menjadi semakin otoriter di bulan-bulan menjelang kudeta, di mana dirinya telah memenjarakan dan bertindak semena-mena terhadap lawan politik dan aktivis anti-pemerintah.Sama halnya dengan mantan Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita, yang dituduh mencurangi pemilu legislatif 2020. Selain kekhawatiran atas tumbuhnya korupsi dan meningkatnya rasa tidak aman, hal ini menggerogoti legitimasi pribadinya.
Di kedua negara, pemimpin sipil kehilangan sebagian popularitas karena mereka telah menyimpang dari nilai-nilai demokrasi, bukan hanya karena warga kehilangan kepercayaan terhadap mereka.
Namun di saat banyak orang mendukung kudeta yang menggulingkan Conde dan Keita, survei terbaru dari Afrobarometer menunjukkan bahwa 76 persen warga Guinea dan 70 persen masyarakat Mali menolak pemerintahan militer.
Survei yang sama, mengutip kantor berita BBC, juga memperlihatkan bahwa dukungan untuk demokrasi mencapai 77 persen di Guinea, 70 persen di Burkina Faso, dan 62 persen di Mali. Ini merupakan bukti lebih lanjut bahwa warga mendukung kudeta militer dengan harapan dapat membuka jalan bagi pemerintahan sipil yang lebih efektif, bukan karena mereka ingin hidup di bawah pemerintahan junta yang otoriter.
Dengan kata lain, kudeta dinantikan warga di sejumlah negara Afrika, tapi di waktu bersamaan juga sangat tidak populer.
Di Sudan, misalnya, ribuan orang turun ke jalan untuk memprotes perebutan kekuasaan oleh militer di tahun 2021, yang merusak peralihan kekuasaan ke tangan sipil setelah tergulingnya Omar al-Bashir pada 2019. Rakyat Sudan terus menuntut hak-hak demokrasinya, walau sebelumnya senang kudeta telah menggulingkan Omar yang dianggap otoriter.
Demokrasi masih disukai
Salah satu alasan mengapa demokrasi tetap menjadi sistem politik yang disukai di Afrika, bahkan di negara-negara yang belum menyadarinya, adalah buruknya kinerja pemerintah otoriter.Rwanda sering disebut sebagai contoh dari apa yang dapat dilakukan "tokoh otoriter" dalam konteks Afrika. Rwanda mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sembari mengurangi tingkat korupsi pejabat. Namun Rwanda adalah pengecualian, dan tidak dapat digeneralisasi.
Secara umum, kurangnya akuntabilitas yang terjadi di bawah diktator dan junta militer hampir selalu mengarah pada korupsi yang lebih besar dan kebijakan ekonomi yang kurang efektif.
Secara rata-rata, negara-negara demokrasi di Afrika mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan juga lebih baik dalam menghadirkan layanan publik. Negara demokrasi juga lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami konflik atau pelanggaran hak asasi manusia berskala luas.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan negara-negara Afrika dalam menghadapi spiral kekacauan ini?
Penggulingan kekuasaan oleh militer tidak bisa memberikan jalan keluar efektif, karena setiap kudeta sudah pasti melemahkan institusi demokrasi. Kudeta juga secara simbolis menegaskan superioritas kekuatan senjata api dibandingkan suara rakyat melalui pemilu.
Oleh karena itu, menemukan jalan keluar dari ketidakstabilan dan ketidakamanan akan membutuhkan penguatan institusi demokrasi yang dapat menahan manipulasi dari para pemimpin politik, bukan kekuatan otoriter yang mengesampingkan peran warga dan bertentangan dengan aspirasi mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News