Warga Kazakhstan turun ke jalan memprotes pemerintah. Foto: AFP
Warga Kazakhstan turun ke jalan memprotes pemerintah. Foto: AFP

Bahan Bakar Menyulut Kerusuhan Tak Terduga di Kazakhstan

Willy Haryono • 10 Januari 2022 10:21
Nur-Sultan: Seperti negara-negara Asia Tengah lainnya, Kazakhstan secara umum jarang menjadi sorotan komunitas global. Berita dari Kazakhstan pada umumnya adalah seputar produksi minyak dan gas, karena negara tersebut merupakan salah satu produsen migas terbesar di dunia.
 
Di awal 2021, Kazakhstan sempat menjadi sorotan karena menggelar pemilihan umum tanpa adanya kandidat oposisi, namun setelah itu kembali berada di bawah radar pemberitaan global.
 
Memasuki awal 2022, pemberitaan seputar Kazakhstan masih berkutat seputar migas, yakni berupa unjuk rasa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dinilai melonjak terlalu tinggi. Komunitas global awalnya tak terlalu peduli, karena aksi protes menentang kenaikan harga BBM terjadi dari waktu ke waktu di banyak negara.

Namun ternyata demonstrasi tersebut, yang berlangsung di Zhanaozen pada 2 Januari, dengan cepat menyebar ke wilayah lain di Kazakhstan termasuk kota terbesarnya, Almaty. Aksi protes meningkat dari sekadar mengecam kenaikan harga bahan bakar menjadi penentangan menyeluruh terhadap pemerintah. Bentrokan berujung kerusuhan antara demonstran dan aparat keamanan pun tak terhindarkan.
 
Komunitas internasional tak menyangka, negara 'stabil' seperti Kazakhstan bisa tiba-tiba terjungkal ke dalam kerusuhan karena migas, sesuatu yang jumlahnya melimpah di negara tersebut. Pemerintah Kazakhstan menyebut kenaikan harga bahan bakar diakibatkan tingginya permintaan serta praktik price fixing -- penetapan harga komoditas antar pelaku usaha.
 
Aksi protes berujung kerusuhan di Kazakhstan bisa jadi merupakan ledakan dari sebuah bom waktu sejak runtuhnya Uni Soviet. Periode 'stabil' di Kazakhstan merupakan kestabilan tipikal di negara-negara pecahan Soviet. 'Stabil' di sini lebih merujuk kepada pengendalian penuh berbagai sendi-sendi kehidupan di bawah seorang pemimpin, dalam hal ini adalah Nursultan Abishuly Nazarbayev yang telah berkuasa di Kazakhstan sejak 1990 hingga 2019.
 
Mungkin sejak lama, keinginan warga Kazakhstan untuk mengungkapkan kekesalan mereka sudah ada, namun terlebih dahulu diredam Nazarbayev, pemimpin yang dipandang sejumlah pengamat sebagai sosok diktator dan otoriter.
 
Kekesalan terhadap Nazarbayev mungkin baru bisa tersalurkan sekarang, di saat berlangsungnya aksi protes menentang kenaikan harga bahan bakar. Hal ini terlihat dari ungkapan para demonstran yang menilai Nazarbayev masih tetap berkuasa di Kazakhstan meski sudah tidak menjadi presiden. Nazarbayev juga dipandang masih memiliki pengaruh atas petahana, Kassym-Jomart Tokayev.
 
Intensnya kerusuhan di Kazakhstan, yang menewaskan lebih dari 100 orang, membuat Tokayev mendeklarasikan status darurat untuk Wilayah Mangystau dan Almaty per tanggal 5 Januari 2022, yang kemudian diperluas ke level nasional. Kabinet di bawah pemerintahan Perdana Menteri Askar Mamin mengundurkan diri di hari yang sama. Tokayev menggunakan istilah "bandit" dan "teroris" dalam melabeli para demonstran, dan mencoba mengakhiri pergerakan mereka dengan meminta bantuan kepada Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) -- sebuah blok di bawah pimpinan Rusia.
 
Pasukan penjaga perdamaian Rusia yang tergabung dalam CSTO mulai dikerahkan ke Kazakhstan pada 6 Januari. Mereka berkoordinasi dengan pasukan lokal dalam menghentikan berbagai aksi protes para demonstran, terutama di Almaty yang merupakan kota terbesar di Kazakhstan. Tak memakan waktu lama, situasi mulai terkendali pada Jumat, 7 Januari, sekitar lima hari usai terjadinya unjuk rasa.
 
Di saat situasi mulai terkendali, Toyayev mengeluarkan perintah tembak di tempat tanpa peringatan kepada siapa pun yang tidak mau mengikuti aturan. Perintah ini membuat Tokayev semakin dipandang sebagai sosok yang juga otoriter seperti pendahulunya.
 
Hingga Minggu, 9 Januari, total 164 orang -- sebagian besarnya adalah pedemo -- tewas dalam kerusuhan di Kazakhstan. Di kubu pasukan keamanan, jumlah kematian mencapai 18 orang. Hampir 6.000 orang telah ditangkap sepanjang kerusuhan. Masih di hari yang sama, Menteri Dalam Negeri Kazakhstan Erlan Turgumbayev menyatakan bahwa situasi di seantero negeri sudah stabil.
 
Intervensi Rusia ke dalam kerusuhan Kazakhstan terjadi di saat Moskow tengah bersitegang dengan Amerika Serikat (AS) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) atas isu Ukraina. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menilai kedatangan pasukan Rusia ke Kazakhstan merupakan sesuatu yang tidak diperlukan. Menurut Blinken, Kazakhstan memiliki kapasitas untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa perlu meminta bantuan pasukan asing. Rusia geram, dan menegaskan bahwa kedatangannya ke Kazakhstan murni merupakan respons atas permintaan dari negara tersebut.
 
Meningkatnya ketegangan AS dan Rusia dipastikan akan terbawa ke pertemuan mereka di Jenewa pada Senin ini, dalam membahas berbagai hal terkait kekhawatiran akan terjadinya invasi Negeri Beruang Merah ke Ukraina.
 
AS mungkin akan mencoba membuat komunitas global memandang Rusia sebagai negara yang bisa dengan mudah memasuki negara-negara tetangganya begitu saja, dengan menyinggung Kazakhstan sebagai contoh terbaru. Sementara Rusia kemungkinan akan tetap menyebut AS sebagai pihak yang sering menerapkan standar ganda dan melakukan intervensi di banyak negara di seluruh dunia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan