Presiden Joko Widodo meninjau KRI Usman Harun di Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa, Kabupaten Natuna. Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev
Presiden Joko Widodo meninjau KRI Usman Harun di Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa, Kabupaten Natuna. Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Menangkal Ancaman Kedaulatan Indonesia Imbas Ketegangan Laut China Selatan

Fajar Nugraha • 31 Maret 2024 23:52
Jakarta: Laut China Selatan, marak didengar sebagai cara Tiongkok untuk memperluas hegemoni di Asia. Nine dash line atau Sembilan garis putus menjadi akar permasalahan, khususnya perbatasan laut dengan negara-negara tetangga Tiongkok.
 
Kini Tiongkok tidak hanya secara sepihak menerbitkan Sembilan Garis Putus, melainkan sudah menambahnya menjadi Sepuluh Garis Putus. Tiongkok pun merilis peta baru dengan menyertakan Sepuluh Garis Putus ini pada 2023 lalu dan sontak mengundang pertanyataan dari negara-negara di sekitar Asia-Pasifik.
 
Laut China Selatan adalah wilayah klaim teritorial yang amat membingungkan. Setidaknya ada 10 negara yang mengeklaim teritorial wilayah yang konon kaya cadangan minyak dan gas itu. Nilai perdagangan sebesar USD3,4 triliun dari jumlah total USD16 triliun dari lalu lintas maritim dunia, tentu makin menarik perhatian. Ditambah lagi dengan potensi penangkapan ikan yang kaya.
 
Tercatat negara seperti Taiwan, serta negara-negara anggota Association of South east Asia Nation (ASEAN) seperti Filipina, Malaysia, Vietnam dan Brunei Darussalam, serta Kamboja, Singapura, Thailand saling berebut klaim teritorial itu. Fokus utama dari perebutan ini adalah bagian dari Pulau Spratly dan Paracels serta Scarborough Shoals.
 
Sementara Indonesia sendiri pada dasarnya bukan pengklaim dari perebutan wilayah ini, namun tindakan Tiongkok melalui peta ‘antik’ mereka ini telah memepet ke wilayah kedaulatan Indonesia. Indonesia selama ini tegas bahwa tidak pernah mengakui sembilan garis putus yang menjadi alasan Tiongkok melontarkan klaim kepemilikannya.
 
Menurut Negeri Tirai Bambu, wilayah Laut China Selatan ini merupakan wilayah historis seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen wilayahnya diklaim Tiongkok sebagai hak maritim historis. Padahal jarak Laut China Selatan dengan Tiongkok daratan mencapai 2.000 kilometer.

 
Benih ketegangan

Tiongkok dengan kekuatan militernya yang besar lancang membangun pos-pos mereka di wilayah Laut China Selatan yang disengketakan. Alhasil, ini memicu ketegangan dengan beberapa negara pengklaim lain.
 
Dalam beberapa pekan terakhir, Tiongkok aktif bersitegangan dengan Filipina. Terakhir pada 24 Maret 2024, tiga prajurit Filipina terluka akibat terkena semprotan meriam air dari kapal Penjaga Pantai Tiongkok di dekat terumbu karang Laut China Selatan.
 
Peristiwa terjadi saat kapal tersebut sedang dalam perjalanan untuk mengirimkan pasukan dan perbekalan ke kapal angkatan laut Filipina yang terdampar di Second Thomas Shoal. Baik pemerintahan dari kedua negara itu pun saling melontarkan kecaman.
 

Bagaimana dengan Indonesia?

 
Indonesia tegas tidak mengikuti kemauan Tiongkok dengan utopia Sembilan Garis Putus-nya. Klaim Tiongkok terhadap wilayah Indonesia menyerempet wilayah Natuna. Pada akhirnya, Indonesia menamai daerah laut Kabupaten Natuna itu sebagai Laut Natuna Utara.
 
Ancaman pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh Tiongkok tentunya akan terus terbuka lebar. Negara yang berdaulat memiliki kekuasaan penuh atas wilayah, rakyat dan pemerintahannya sendiri, serta tidak akan pernah tunduk pada pengaruh kendali dan pengaruh hukum yang diberlakukan oleh negara lain.
 
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”
 
Ketika ada ancaman dari Tiongkok di Natuna pada 2020 lalu, Presiden Joko Widodo langsung mengunjungi Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa. Presiden pun sempat meninjau KRI Usman Harun 359 dan KRI Karel Sansuit Tubun 356. Kedatangan Presiden menunjukkan bahwa Indonesia akan mundur sedikitpun ketika wilayahnya diganggu oleh kekuatan asing, meskipun ancam itu berasal dari Tiongkok yang memiliki hubungan kerja sama yang erat.
 
Tiongkok dalam menjalankan klaimnya menggunakan strategi Gray Zone untuk memperkuat klaim teritorial di Laut China Selatan. Mereka memulai pembangunan pulau buatan dan meningkatkan kehadiran militer tanpa mendeklarasikan sebagai tindakan agresi.
 
Indonesia memang bergantung pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Hukum Laut atau UNCLOS ketika menghadapi klaim dari Tiongkok. Tetapi potensi konflik akan tetap terbuka jika tidak diambil tindakan.
 

Sikap yang diambil

 
Menghadapi ancaman konflik kedaulatan atas klaim dari Tiongkok di Laut China Selatan, Indonesia harus memperkuat pertahanan dengan mempersenjatai TNI Angkatan Laut dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan alutsista yang lebih dari cukup.
 
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto menilai Satuan TNI Terintegrasi (STT) di Natuna, Kepulauan Riau, masih perlu diperkuat. Hadi menyampaikan pertahanan Indonesia di Natuna akan terus diperkuat demi mengantisipasi konflik yang dapat muncul akibat sengketa wilayah perairan itu.
 
“Dalam merespons permasalahan Laut China Selatan, di bidang pertahanan dan keamanan, pemerintah mendorong program major project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna melalui kecukupan alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI,” kata Hadi, Jakarta, Selasa, 19 Maret 2024.
 
Dia menyebut penguatan satuan terintegrasi TNI di Natuna merupakan tindak lanjut atas Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020–2024.
 
Upaya ini paralel dengan diplomasi yang tetap dilakukan Indonesia. Hadi menyebut Indonesia tetap mengedepankan diplomasi dan negosiasi damai dalam mengelola sengketa di Laut China Selatan. Indonesia, menurut Hadi, cukup aktif mendorong finalisasi tata perilaku (code of conduct/CoC) untuk Laut China Selatan.
 
“Kita menargetkan CoC dapat difinalisasi dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu pada 2025. Kita semua berharap CoC dapat menjadi dokumen yang efektif, substantif, dan actionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual confidence di antara negara-negara yang berkepentingan di Laut China Selatan,” kata Menko Polhukam.
 
Salah satu hal lain yang penting harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah, pemberdayaan masyarakat di wilayah terluar khususnya di Natuna. Berkembangnya aspek ekonomi di Natuna diyakini akan memperkuat pertahanan di daerah perbatasan Indonesia. Tidak hanya itu, pengembangan Natuna jadi bukti terjadinya pembangunan secara adil di seluruh Indonesia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan