Terakhir pada akhir pekan kemarin yang menewaskan lima orang di dua lokasi kejadian. Penembakan ini memperpanjang kasus kekerasan senjata di Negeri Paman Sam, dan tidak ada tanda-tanda akan segera selesai.
Kebanyakan penembakan dilakukan di sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk mengenyam pendidikan. Anak-anak di bawah umur menjadi korbannya.
Pelakunya pun biasanya anak baru gede (ABG) yang entah apa motivasinya melakukan penyerangan. Ada yang ditahan, namun banyak yang memilih mengakhiri hidup juga.
Seperti halnya di Texas, pada akhir Mei lalu. Sebanyak 19 anak usia sekolah dasar dan dua guru harus meregang nyawa. Tak diketahui apa yang diinginkan pelaku, yang masih 18 tahun.
Ia kemudian tewas, menurut polisi, karena luka-luka yang dideritanya. Selang beberapa hari, penembakan terjadi di sebuah rumah sakit di Oklahoma.
Seorang pria dengan senjata laras panjang menembak sebuah rumah sakit universitas di sana. Pelaku juga tewas.
Tak lama diketahui bahwa pria tersebut ingin membunuh dokter yang mengoperasi punggungnya. Tidak jelas rinciannya karena pelaku juga ikut tewas.
Lantas, siapa yang disalahkan dalam rangkaian kasus ini?
Para pembuat kebijakan AS terbagi dua dalam hal ini. Ada yang menyetujui reformasi senjata dengan berbagai pembatasan di dalamnya, ada pula yang tidak setuju jika pembatasan dilakukan tapi menganggap kesehatan mental menjadi akarnya.
Partai Demokrat dan Republik sejak lama memang tidak pernah akur dalam hal senjata. Republik beranggapan, semua orang berhak memiliki senjata untuk membela diri mereka. Namun bagi Demokrat, menyelamatkan nyawa adalah yang paling berharga dalam hal ini.
Presiden AS Joe Biden mengatakan, hak konstitusional untuk memilili senjata 'tidak mutlak' dan tidak pernah ada. Biden menyerukan agar ada pembatasan baru pada pembelian dan kepemilikan senjata, yang mengacu pada amandemen konstitusi yang memberi hak kepada orang Amerika terkait pembelian senjata.
"Amandemen Kedua tidak mutlak. Ketika disahkan, Anda tidak dapat memiliki senjata tertentu. Ada batasan," ujar Biden.
Undang-undang tersebut merupakan bagian dari Bill of Rights 1791. UU itu menyatakan, "milisi yang diatur dengan baik, yang diperlukan untuk keamanan Negara yang bebas, hak rakyat untuk memiliki dan membawa senjata, tidak boleh dilanggar. Biden juga mengkritik National Riffle Association, atau lobi senjata yang kuat di AS, untuk menentang upaya memberlakukan peraturan yang lebih kuat pada industri senjata.
"Di mana keberanian untuk berdiri di lobi yang sangat kuat?" ujar Biden.
Ia juga mendesak Senat untuk segera mengkonfirmasi Steven Dettelbach, yang merupakan kandidat kepala Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak. Dettelbach memiliki misi untuk menegakkan undang-undang senjata AS. Dettelbach, yang merupakan mantan pengacara AS dari Ohio, muncul di sidang konfirmasi Senat pada akhir Mei lalu.
Juru Bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre mengatakan, sangat penting memiliki seorang pemimpin yang berpengalaman di Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak yang sudah tujuh tahun kosong. Jean-Pierre mencatat, Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak mempunyai peran kunci dalam menyelidiki penembakan di Buffalo dan Uvalde.
"Dengan kekerasan senjata setiap hari yang mengganggu terlalu banyak komunitas kita, sekaranglah waktunya untuk memberikan kepemimpinan kepada Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak untuk menegakkan undang-undang senjata kita dan membuat komunitas kita lebih aman," ucap Jean-Pierre.
Partai Demokrat dan Partai Republik di Senat AS membahas pengetatan tinjauan pembeli senjata. Pembahasan ini berlangsung setelah terjadi insiden penembakan di Robb Elementary School, di Uvalde, Texas yang menewaskan 19 siswa dan dua guru. Ini adalah penembakan paling mematikan selama hampir satu dekade di sana.
Langkah pengendalian senjata kemungkinan tidak akan berhasil di Kongres. Langkah tersebut juga menjadi kendala di sebagian besar negara bagian.
Beberapa negara bagian yang dikuasai Demokrat, mayoritas tidak mengambil tindakan terhadap pengendalian senjata dalam beberapa tahun terakhir atau telah bergerak agresif untuk memperluas hak kepemilikan senjata. Hal itu karena mereka dikendalikan secara politis oleh Partai Republik yang menentang pembatasan senjata atau terpecah secara politik, yang mengarah ke jalan buntu.
Setelah penembakan di Robb Elementary School, anggota parlemen Demokrat di seluruh negeri mengeluarkan permohonan kepada Kongres dan legislatif untuk meloloskan pembatasan senjata. Sedangkan Partai Republik sebagian besar menyerukan lebih banyak upaya untuk mengatasi kesehatan mental dan perlindungan di sekolah, seperti menambah penjaga keamanan.
Gubernur Texas Greg Abbott berulang kali berbicara tentang perjuangan kesehatan mental di kalangan anak muda. Menurutnya, undang-undang senjata yang lebih ketat seperti di New York dan California tidak efektif.
Hal berbeda disampaikan Gubernur Wisconsin Tony Evers yang berulang kali bentrok dengan Legislatif -,dikendalikan Republik,- atas undang-undang senjata. Dia menyerukan pengesahan pemeriksaan latar belakang universal dan undang-undang "bendera merah", tetapi diabaikan oleh Partai Republik.
"Kami tidak dapat menerima bahwa kekerasan senjata terjadi begitu saja. Kami tidak dapat menerima bahwa anak-anak mungkin pergi ke sekolah dan tidak pernah pulang. Kami tidak dapat menerima penolakan langsung dari pejabat terpilih untuk bertindak," ujar Evers.
Anggota Partai Republik Susan Collins dan Pat Toomey mengatakan, mereka telah melakukan kontak dengan Senator Demokrat Chris Murphy tentang kemungkinan undang-undang "bendera merah" untuk menolak akses senjata kepada orang-orang yang dianggap berbahaya. Termasuk memperketat pemeriksaan latar belakang bagi pembeli senjata.
Murphy mengatakan, dia akan terus mengejar kesepakatan bipartisan. "Saya telah meminta Senator Schumer untuk memberikan ruang untuk melakukan percakapan itu selama 10 hari ke depan. Selama satu setengah minggu, kita akan tahu apakah ada peluang untuk mendapatkan RUU bipartisan atau tidak," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News