Sebagian pihak optimistis atas peristiwa tersebut, sebagian lainnya skeptis.
Dalam pertemuan dengan Min Aung Hlaing, Heyzer memintanya untuk segera menghentikan semua aksi kekerasan, mendukung rute politik untuk kembali ke pemerintahan sipil dan demokrasi, serta mengizinkan mantan pemimpin Aung San Suu Kyi untuk pulang ke rumahnya. Heyzer juga meminta agar dirinya bisa bertemu langsung dengan Suu Kyi.
Tidak hanya itu, Heyzer juga datang dengan membawa pesan dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang mengaku sangat khawatir atas situasi kemanusiaan, keamanan, ekonomi dan politik di Myanmar. Ia menekankan kembali seruan Guterres agar junta Myanmar segera membebaskan seluruh tahanan politik, dan juga menerapkan moratorium eksekusi mati. Sebelumnya, junta Myanmar telah mengeksekusi mati empat aktivis politik, sebuah langkah yang memicu kecaman global.
"Kunjungan saya adalah menyampaikan kekhawatiran PBB serta mengusulkan langkah-langkah konkret untuk mengurangi konflik dan penderitaan rakyat. Keterlibatan PBB ini sama sekali bukan memberikan legitimasi," tegas Heyzer.
"Masyarakat Myanmar memiliki hak untuk berdemokrasi dan menentukan nasib mereka sendiri, yang hanya bisa mungkin terjadi lewat itikad baik serta upaya semua pemangku kepentingan dalam sebuah proses inklusif," sambungnya.
Heyzer tentu saja berkata bahwa kunjungannya bukan merupakan bentuk legitimasi PBB terhadap junta Myanmar, yang telah menggulingkan pemerintahan Suu Kyi pada Februari 2021. Kenyataannya memang bukan legitimasi, namun bagi junta, kunjungan Heyzer merupakan kesempatan baik untuk memperlihatkan kepada semua rakyat bahwa PBB pun harus ikut aturan main di Myanmar.
Foto jabat tangan antara Heyzer dan Min Aung Hlaing telah dimuat dan diberitakan secara luas di media nasional Myanmar, mungkin dengan narasi-narasi tertentu. Media nasional Myanmar bisa saja memposisikan atau memperlihatkan bahwa junta berada di posisi yang lebih unggul dari PBB.
Kunjungan Heyzer terjadi tak lama usai penjatuhan vonis terbaru kepada Suu Kyi dalam kasus korupsi dan eksekusi empat tahanan politik di akhir Juli. Menjelang dan selama kunjungan berlangsung, junta Myanmar sama sekali tidak menghentikan operasi militernya terhadap rakyat Myanmar yang berunjuk rasa menuntut demokrasi. Hal ini semakin meningkatkan kekhawatiran, bahwa tidak akan ada kemajuan berarti -- atau tidak ada sama sekali -- dari kunjungan PBB.
Skeptisisme tersebut bukan tanpa alasan, karena junta Myanmar cenderung tak bersedia mendengarkan atau mengambil tindakan konkret dalam menyelesaikan konflik di negaranya sejak tahun lalu. ASEAN yang sejak awal mati-matian berusaha membantu menyelesaikan konflik di Myanmar, terutama melalui Lima Poin Konsensus, seolah dianggap angin lalu oleh junta.
Menurut pemerintah bayangan Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), kunjungan Heyzer sebaiknya lebih difokuskan pada pernyataan-pernyataan kritis ketimbang hanya bertemu junta dan menanyakan apa saja yang sedang terjadi di Myanmar. Aung Myo Min dari NUG meminta agar PBB sebaiknya merencanakan bagaimana komunitas global dapat segera menyingkirkan junta agar pemerintahan sipil dapat kembali berjalan.
Bagi Aung Myo Min, kunjungan Heyzer tak lebih hanya merupakan sebuah kesempatan berfoto yang dimanfaatkan untuk publikasi junta. "Tidak mungkin dialog dengan Dewan Militer dapat menghentikan kekerasan," ucapnya.
Sikap skeptis juga diperlihatkan mantan duta besar Amerika Serikat untuk Myanmar Scot Marciel. Ia merasa kunjungan PBB tak akan terlalu berdampak signifikan karena Heyzer berada di posisi yang sangat sulit. Jika Heyzer sedikit saja dipersepsikan mengkritik atau mengecam junta, maka ia tidak akan bisa masuk ke Myanmar, apalagi bertemu Suu Kyi.
"Ada sejarah panjang kegagalan utusan khusus untuk Myanmar. Banyak dari mereka adalah diplomat yang baik, tapi mereka berada dalam posisi sulit," sebut Marciel via Twitter pada Kamis, 18 Agustus.
Lantas, apa saja hasil dari kunjungan Heyzer ke Myanmar? Menurut Deputi Juru Bicara PBB Farhan Haq, hasil kuncinya adalah komitmen dari junta untuk melanjutkan dialog dan keterbukaan terhadap proposal Heyzer mengenai bantuan kemanusiaan dan perlindungan warga sipil.
Disebutkan bahwa Heyzer dan junta Myanmar sepakat untuk mengeksplorasi jeda kemanusiaan dan penyaluran bantuan ke area-area konflik. Untuk tahanan politik, Haq mengatakan bahwa junta memberikan jaminan tidak akan ada anak di bawah 12 tahun yang dijebloskan ke penjara. Heyzer juga dijanjikan junta bahwa hukuman bagi warga Myanmar berusia 16 dan 17 tahun akan relatif ringan.
Mengenai desakan bertemu Suu Kyi, junta Myanmar disebut bersedia mengatur pertemuan di masa yang akan datang tanpa mengelaborasi waktu pastinya.
Komitmen-komitmen yang disampaikan junta tersebut terasa seperti dejavu, sama seperti Min Aung Hlaing datang ke Jakarta untuk menghadiri pertemuan ASEAN pada April 2021. Kala itu, Min Aung Hlaing juga berkomitmen terhadap Lima Poin Konsensus ASEAN yang isinya lebih kurang sama dengan desakan PBB. Namun hingga saat ini, tidak ada kemajuan berarti dari komitmen tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News