medcom.id, Jakarta: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, menilai ada banyak faktor yang memicu warga negara Indonesia (WNI) kembali diculik di oleh kelompok bersenjata di Filipina.
Hikmahanto menilai, penyanderaan berulang karena itu memang jalur neraka. Penyandera tidak hanya bermotif ekonomi tapi motif politik karena mereka yang menyandera adalah pemberontak terhadap pemerintahan yang sah Filipina.
"Disamping itu, penyanderaan berulang terjadi karena perusahaan kapal dan nakhoda tidak mau taat dengan himbauan pemerintah untuk moratorium atau menghindari jalur tersebut. Ini yang menjadi repot karena semua dipikir secara komersial," sebut Hikmahanto dalam keterangan yang diterima Metrotvnews.com, Senin (11/7/2016).
"Lalu media juga jangan over exposed karena itu jadi alat penyandera untuk tekan pemerintah," tuturnya.
"Bahkan melalui media para penyandera tahu apa yang dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah terlalu murah membeberkan yang seharusnya rahasia," tegas pengamat hukum internasional itu.
Bagi Hikmahanto, ada kesulitan besar ketika melakukan penjagaan secara militer. Hal ini tidak bisa dilakukan karena pembajakan berada di kedaulatan negara lain.
"Negara tersebut tidak bisa taklukkan para pemberontak. Ibarat di Indonesia terduga teroris Santoso sampai hari ini kan belum tertangkap dan bisa ditaklukkan. Belum lagi Abu Sayyaf itu banyak faksinya dan tidak berada pada satu komando," ucapnya.
Bayar tebusan, sama seperti beri dukungan kepada pemberontak
Kabar menyebutkan bahwa bebasnya beberapa sandera WNI sebelumnya karena pihak perusahaan membayar tebusan kepada Abu Sayyaf. Kasus penyanderaan beberapa waktu lalu, pada akhirnya berimbas ke kasus saat ini.
"Nah penyelesaian kemarin kan berpengaruh ke hari ini. Kalau kemarin ada bayar membayar oleh perusahaan atau siapapun maka WNI akan menjadi sasaran empuk kelompok Abu Sayyaf. Sekarang nilai tebusannya sudah meningkat tajam," pungkasnya.
Di mata Hikmahanto, kalau pembayaran itu dilakukan, juga tidak elok di mata Pemerintah Filipina. Hal mengartikan bahwa komponen Indonesia mendukung logistik para pemberontak untuk melawan pemerintah yang sah.
Hal seperti ini membuat pemerintah Indonesia akan tersandera karena publik akan menuntut pemerintah untuk bebaskan dalam waktu yang cepat. (Baca: Menlu Retno Sebut Penculikan WNI sudah Tidak Dapat Ditoleransi https://www.medcom.id/internasional/asia/DkqJxJVK-menlu-retno-sebut-penculikan-wni-sudah-tidak-dapat-ditoleransi)
"Ini tentu tidak fair karena keinginan untuk mengejar secara komersial dari perusahaan kapal atau nakhoda lalu pemerintah harus turun tangan dan tidak konsen dengan agenda pembangunan yang lain," ucap Hikmahanto.
Sementara jika Indonesia masuk secara militer karena ini masalah politis, Indonesia kemungkinan besar akan dianggap musuh yang harus diperangi oleh para penyandera dan kawanannya.
(Baca: Menlu: Tiga ABK WNI Dibawa Penculik ke Filipina Selatan https://www.medcom.id/internasional/asia/eN4vDQ1k-menlu-tiga-abk-wni-dibawa-penculik-ke-filipina-selatan)
(Baca: Menlu: Tiga ABK WNI Dibawa Penculik ke Filipina Selatan https://www.medcom.id/internasional/asia/eN4vDQ1k-menlu-tiga-abk-wni-dibawa-penculik-ke-filipina-selatan)
"Kalau itu terjadi di kemudian hari WNI tidak hanya jadi umpan uang tapi bisa langsung dibunuh. Saya sangat tidak rekomendasikan militer kita masuk dan lakukan pembebasan. Ini akan berpengaruh ke depannya. Indonesia bukan musuh Abu Sayyaf," tegas Hikmahanto.
Presiden dan Menteri tak perlu keluarkan pernyataan
Kelompok penyandera WNI sadar akan perhatian yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada warganya yang diculik. Namun sudah saatnya pejabat tinggi seperti Presiden dan Menteri berhenti memberikan pernyataan.
"Sekarang pemerintah harus hadir tapi sudah jangan sekelas Presiden atau Menteri. Cukup kepala unit yang berkaitan dengan masalah penyanderaan seperti Direktur Perlindungan WNI dan BHI di Kementerian Luar Negeri," imbuh Hikmahanto.
Kalau Presiden atau Menteri yang turun, penyandera semakin senang karena ada atensi secara nasional. Mereka mudah minta tebusannya untik dikabulkan.
Kemudian pemerintah harus mengutamakan negosiasi dalam pembebasan sandera. Negosiasi harus dilakukan meski akan berjalan lama bahkan dalam hitungan bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News