Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Ibu Negara Jill Biden mengunjungi lokasi penghormatan korban penembakan Uvalde, Texas. Foto: AFP
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Ibu Negara Jill Biden mengunjungi lokasi penghormatan korban penembakan Uvalde, Texas. Foto: AFP

Kebuntuan AS Hadapi Rentetan Penembakan Massal

Willy Haryono • 30 Mei 2022 12:43
Washington: Penembakan massal merupakan satu dari banyak jenis kejahatan di dunia ini, yang entah mengapa terkesan menjadi 'dimiliki' secara eksklusif oleh Amerika Serikat (AS). Peristiwa tragis semacam itu terus terjadi dari waktu ke waktu di Negeri Paman Sam, namun sangat jarang ditemukan di negara mana pun di dunia.
 
Dalam peristiwa penembakan massal terbaru di Texas pada 24 Mei 2022, Presiden AS Joe Biden sekali lagi merasa heran mengapa hanya negaranya yang dilanda masalah spesifik seperti ini.
 
"Apa yang membuat saya tak habis pikir adalah, penembakan massal seperti ini jarang terjadi di tempat mana pun di dunia," sebut Biden, mengomentari penembakan massal di Texas usai dirinya baru saja pulang dari tur Asia.
 
"Mengapa? Padahal negara-negara lain juga memiliki masalah kesehatan mental. Mereka juga memiliki masalah kekerasan rumah tangga. Mereka juga memiliki warga yang dapat dikatakan 'tersesat.' Tapi penembakan massal dengan frekuensi sesering ini hanya terjadi di Amerika," sambungnya.

Tragedi penembakan massal di sekolah dasar Robb Elementary School di Uvalde, Texas, telah menewaskan 19 anak-anak dan dua guru. Peristiwa tragis itu terjadi hanya beberapa hari setelah penembakan massal di Buffalo, New York, yang menewaskan 10 orang dan melukai tiga lainnya.
 
Pelaku penembakan di Uvalde adalah pemuda 18 tahun bernama Salvador Ramos, yang tewas dalam baku tembak dengan aparat keamanan di lokasi kejadian. Sebelum beraksi di sekolah, Ramos sempat menembak neneknya sendiri dan membawa kabur mobilnya. Otoritas Texas kemudian mengetahui bahwa Ramos sempat menuliskan tiga pesan di Facebook.
 
Pesan pertama mengenai rencana menembak neneknya; kedua, soal konfirmasi dirinya telah menembak sang nenek; dan ketiga, mengenai rencana menyerang sebuah sekolah. Ramos tidak menyebutkan alasan di balik aksinya, dan otoritas Texas pun hingga kini belum dapat menentukan motif di balik penembakan massal tersebut.
 
Seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya di AS, penembakan massal dipastikan memicu perdebatan seputar senjata api, baik di level pejabat tinggi maupun masyarakat. Satu kubu menyerukan agar aturan kepemilikannya diperketat, sementara kubu lainnya merasa hal semacam itu hanya akan merusak 'jiwa' dari Amandemen Kedua -- salah satu bagian dari konstitusi AS yang mengatur mengenai senjata api.
 
Secara umum, Partai Demokrat dan para pendukungnya lebih condong ke arah pengetatan aturan senjata api. Sebaliknya, Partai Republik menilai senjata api bukanlah masalah utama dari penembakan massal yang sering terjadi di AS. Demokrat berpandangan bahwa dengan pengetatan aturan, individu dengan niat jahat akan mengalami kesulittan dalam mendapatkan senjata api karena terbentur berbagai regulasi. Sementara menurut Republik, individu yang memiliki niat jahat atau masalah mental tertentu bisa saja mendapatkan senjata api secara ilegal, jika memang sejak awal sudah berniat melakukan kejahatan.
 
Satu pandangan bertolak belakang lainnya adalah, Demokrat cenderung berpandangan bahwa semakin sedikit senjata api yang beredar di tengah masyarakat, maka angka penembakan massal dapat ditekan. Sementara Republik menganggap angka penembakan massal dapat ditekan jika semakin banyak "orang baik" memegang senjata api dalam keseharian mereka. Dalam penembakan massal di area sekolah, beberapa petinggi Republik kerap menyarankan agar guru dan staf sekolah dibekali senjata api.
 
Argumen utama dari Demokrat dan Republik ini sama-sama memiliki bobot yang "masuk akal," sehingga membuat perdebatan seputar senjata api seolah tak ada habisnya. Buntu. Dengan sistem pemerintahan bipartisan AS seperti saat ini, sangat sulit untuk meloloskan aturan baru, termasuk soal senjata api. Seruan demi seruan pengendalian senjata api terus disampaikan sebagian warga AS, namun selalu ditentang keras sebagian lainnya yang berpegang teguh pada Amandemen Kedua.
 
Perpecahan di tengah masyarakat AS ini diperburuk perilaku sejumlah pejabat tinggi, termasuk mantan Presiden AS Donald Trump. Jika terjadi penembakan massal, Trump hampir selalu menyuarakan narasi bahwa Demokrat berusaha mempolitisasi dan "merampas senjata api dari kita semua." Narasi ini terus disuarakan, bahkan saat Trump sudah tidak lagi menjadi presiden.
 
Terkait penembakan di Uvalde, Trump mengatakan kepada para pendukungnya bahwa Demokrat berusaha menjalankan fase pertama dalam upaya "merampas" senjata api dari tengah masyarakat.
 
Trump jelas melontarkan tuduhan tanpa bukti, dan -,seandainya itu benar pun,- menggeneralisasi bahwa semua pendukung Demokrat menentang senjata api. Hal ini tentu tidak benar, karena pendukung Demokrat pun bisa saja memiliki senjata api di rumahnya, baik itu untuk keperluan berburu, alat pertahanan diri, atau lainnya. Beberapa dari mereka kerap bersuara di media sosial, bahwa mereka tetap bisa membeli senjata api atau amunisi di saat Trump berkata bahwa Demokrat telah merampasnya dari masyarakat.
 
Namun pembelaan semacam itu seolah tak ada gunanya, karena polaritas masyarakat Demokrat dan Republik sudah begitu tajam, sehingga apa pun argumen yang disampaikan, tetap tak akan bisa diterima kubu berseberangan.
 
Entah akan ada berapa banyak lagi penembakan massal di AS. Namun jika melihat kondisi saat ini, di mana Demokrat dan Republik saling beradu otot seperti biasanya, maka kemungkinan besar, cepat atau lambat, penembakan massal akan terjadi lagi di Land of the Free tersebut.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan