Cox adalah salah satu yang gencar mengkampanyekan agar Inggris tetap di Uni Eropa. Belum diketahui apakah penembakan ini berujung pada Referendum Uni Eropa pada 23 Juni mendatang.

Anggota parlemen Inggris, Jo Cox/BBC
Ditangkap oleh polisi tak lama setelah serangan, diketahui pria tersebut bernama Thomas Mair dan berusia 52 tahun. Dari pemeriksaan, dibuktikan Mair mempunyai riwayat kesehatan mental.
"Ia seorang penyendiri. Pernah psikoterapi dan rehabilitasi obat-obatan terlarang. Ia juga memiliki penyakit mental," ujar adiknya, Scott Mair kepada pihak polisi, seperti dikutip Telegraph, Jumat (17/6/2016).
"Ia memang mempunya penyakit mental tapi ia telah mendapat bantuan terkait itu. Saya sangat menyesal dengan apa yang telah dia lakukan," lanjutnya lagi.
Mair yang lahir di Kilmarnock, Skotlandia juga diidentifikasi sebagai pelanggan S.A Patriot, sebuah mejalah di Afrika Selatan yang diterbitkan oleh kelompok pro-apartheid, White Rhino Club.
Klub ini diketahui melawan masyarakat multi budaya dan eskpansionis agama Islam. Sebuah posting blog yang terkait dengan kelompok tersebut, dijelaskan Mair sebagai salah satu pelanggan tetap dan pendukung S.A Patriot.
.jpg)
Sementara itu, tetangga Mair di Birstall mengatakan bahwa ia tinggal bersama neneknya. Sampai neneknya meninggal 20 tahun yang lalu, hingga kini ia tak punya pekerjaan tetap.
"Saya terkejut dengan apa yang dia lakukan hari ini. Pagi tadi dia masih menyapa saya seperti yang ia lakukan setiap harinya. Setiap hari memang ia selalu membawa ransel kecil jika berpergian," ujarnya.
Cox ditembak dua kali saat sedang berkampanye. Saksi mata juga mengatakan bahwa Mair sempat berteriak 'Britain First', sebuah kelompok nasionalis beraliran kanan.
Britain First yang menyebut diri sebagai partai politik patriot dan organisasi pertahanan jalanan didirikan tahun 2011 oleh para mantan anggota Partai National Inggris.
Partai ini bersikeras tidak rasis, namun berbagai kebijakan dan pandangannya justru membuktikan sebaliknya. Britain First mempunyai slogan "Rebut kembali negara kita!", Britain First juga menyerukan kampanye anti-imigran, anti-Islamisasi, dan "mengembalikan nilai-nilai Inggris."
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News