"Kita lakukan ini (pembatasan ekspor nikel) berdasarkan pertimbangan untuk menjaga lingkungan hidup. Lalu juga untuk memperkuat bagaimana pemanfaatan tadi memberikan nilai tambah terhadap produk itu sendiri," tutur Mahendra kepada awak media di Jakarta, Senin 25 November 2019.
Mahendra menambahkan, dalam konteks perdagangan internasional pembatasan ekspor demi menjaga lingkungan hidup itu dibenarkan dilakukan negara berkembang. "Apalagi kita (Indonesia) negara berkembang yang sedang memperbaiki kondisi mengenai lingkungan hidup," imbuhnya.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Mantan Dubes RI untuk Amerika Serikat itu menambahkan, Indonesia akan berlaku sesuai dengan standar pengaduan tersebut. "Kalau prosesnya sudah baku, nanti kita akan lakukan sesuai proses yang distandarkan dalam pengaduan seperti itu," serunya.
Uni Eropa menggugat RI di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait dengan kebijakan percepatan pembatasan ekspor bijih nikel. Komisi Eropa menilai langkah Indonesia tersebut merupakan pembatasan yang tidak adil terhadap produsen baja di Uni Eropa.
Komisioner Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom mengatakan kebijakan Indonesia tersebut menekan industri baja di Benua Biru. Industri baja di sana telah menghadapi banyak guncangan dalam beberapa tahun terakhir.
Dia mengeluhkan kebijakan Indonesia yang memberikan fasilitas perpajakan untuk pembangunan pabrik pengolahan baja dan nikel baru. Karena itu, Indonesia dituding memberikan subsidi ilegal.
Berdasarkan data UN Comtrade, Indonesia terakhir kali mengekspor bijih nikel dengan kode harmonized system (HS) 2604 ke UE pada 2014. Kala itu ekspor RI ke blok negara Eropa tersebut mencapai 38.335 ton. Namun sejak 2015-2018 Indonesia tercatat tidak mengekspor bijih nikel ke UE.
(WAH)