Survei ICM, Opinium dan Survation menunjukkan pendukung Kerajaan Britania Raya mencapai 52 persen, dan separatisme 48 persen. Sementara sekitar delapan hingga 14 persen dari seluruh warga Skotlandia yang berjumlah 4,3 juta jiwa masih belum menentukan pilihan.
"(Pertarungannya) sangat ketat," ucap John Curtice, profesor politik Universitas Strathclyde pada surat kabar Scotsman, seperti dilansir Reuters, Rabu (17/9/2014).
"Saat ini sepertinya kampanye 'Yes' akan kalah, tapi bisa saja sebaliknya," tambah dia.
Perdana Menteri Inggris David Cameron menyampaikan permohonan terakhirnya di kota Aberdeen, Skotlandia, Senin kemarin. Sekali lagi ia menegaskan jika warga memilih 'Yes,' maka Skotlandia akan selamanya berpisah tanpa ada pilihan untuk bergabung kembali.
"Ini adalah pekan krusial yang dapat mengubah Kerajaan Britania Raya selamanya," tutur Cameron. "Banyak orang yang akan memilih 'Yes' dan pada keesokan paginya, tidak akan lagi ada passpor, uang pensiun dan mata uang Poundsterling."
"Kemerdekaan Skotlandia bukan sekedar perpisahan, tapi perceraian yang menyakitkan. Saya mohon, jangan pecah belah keluarga kita. Mari kita bersatu bersama," tambah dia.
Sebelumnya, Amerika Serikat mengaku akan menghormati apapun hasil referendum, namun lebih menginginkan jika Kerajaan Britania Raya tetap "kuat, kokoh dan bersatu."
Skotlandia akan menggelar referendum kemerdekaan pada Kamis besok. Jika mayoritas warga memilih No (menolak), maka Skotlandia akan tetap bersama Kerajaan Bersatu Britania Raya (UK) alias Inggris. Namun jika mereka memilih Yes (setuju), maka Skotlandia akan melepaskan diri dan menjadi negara independen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News