Para pendukung Macron bersorak gembira ketika penghitungan cepat ditutup di mana Macron berhasil mengumpulkan suara sebanyak 65 persen, mengalahkan Marine Le Pen yang hanya mendapat 35 persen.
Berpidato usai memenangkan pertarungan ini, Macron berjanji untuk menyembuhkan perpecahan sosial di Prancis dan akan membawa harapan serta kepercayaan baru terhadap negara tersebut.
"Sebuah halaman baru dalam sejarah, kami buka, ungkap Macron, seperti dikutip AFP, Senin 8 Mei 2017.
Kemenangan Macron menandai ketiga kalinya dalam rentang waktu sekitar enam bulan di Eropa -pemilu Austria dan Belanda- di mana pemilih tak mau negaranya dipimpin populis sayap kanan.
Sampai hari terakhir sebelum pemilu, Macron masih menjadi kandidat terfavorit di Prancis, mengalahkan Le Pen.
Partai pimpinan Macron, En Marche, disinyalir akan dipilih sebanyak 26 persen responden, pun partai sentris Modern, yang bersekutu dengannya dalam putaran pertama pemilu untuk memperbarui parlemen pada 11 Juni mendatang.
Tantangan yang dihadapi Macron saat ini adalah menjalankan pemerintahan dengan baik dan menepati janji-janji semasa kampanye. Untuk melakukan itu, dia perlu membangun sebuah mayoritas di parlemen.
Biasanya, pemerintah eksekutif dan legislatif di dalam parlemen berasal dari partai yang sama untuk mencegah kejatuhan pemerintah.
Macron memiliki satu keuntungan: efek "penguat mayoritas" dari sistem elektoral yang didesain pemimpin pascaperang Charles de Gaulle, yang dibuat untuk memaksimalkan independensi presidensial dari parlemen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News