Demonstrasi besar-besaran ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Prancis. Lebih dari 2.000 polisi diturunkan, sebagai tambahan dari puluhan ribu lainnya yang sudah bersiaga di berbagai titik. Mereka bersiaga melindungi sekolah, tempat peribadatan dan fasilitas lainnya di Prancis.
Gerakan bersatu melawan ekstremisme pada Minggu (11/1/2015) waktu Prancis, akan dihadiri beberapa petinggi negara. Mereka adalah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Presiden Ukraina Petro Poroshenko, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan beberapa petinggi Inggris, Jerman, NATO, Liga Arab dan negara-negara Afrika.
Pejabat keamanan Eropa dan Amerika Serikat juga akan menggelar rapat darurat di Paris terkait perang melawan terorisme.
"Aksi massa ini harus menunjukkan kekuatan warga Prancis yang akan meneriakkan kebebasan dan toleransi," tutur Perdana Menteri Prancis Manuel Valls, seperti dilansir Associated Press.
"Para jurnalis dibunuh karena mereka mempertahankan kebebasan. Polisi dibunuh karena mereka melindungi Anda semua. Kaum Yahudi dibunuh karena status mereka sebagai Yahudi," sebut dia.
"Kemarahan kita terhadap terorisme harus bersifat absolut dan total. Tidak hanya untuk tiga hari ke depan, tapi secara permanen," tegas Valls.
Rabu kemarin, tiga orang yang mengklaim berasal dari Al Qaeda Yaman membunuh 10 jurnalis di kantor majalah kontroversial Charlie Hebdo di Paris. Dua polisi di sekitar lokasi juga tewas.
Satu tersangka menyerahkan diri, dan dua lainnya berhasil kabur. Keduanya tewas dalam penyerbuan polisi di toko kelontong khusus Yahudi, setelah mereka sempat menyandera beberapa orang.
Terdapat pula penembakan terpisah yang menewaskan seorang polisi wanita di wilayah Montrouge. Setelah diselidiki, petugas menduga pelaku penembakan kedua ini juga terkait dengan teror Charlie Hebdo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News