Kubu oposisi mendapat angin segar beberapa menit sebelum pemilu dimulai. Olga Tokarczuk, seorang kritikus pemerintah yang meraih Nobel Sastra pada Kamis kemarin, meminta semua warga Polandia untuk secara bijak memilih "antara demokrasi dan otoriter."
Tokarczuk menyebut pemilu parlemen kali ini adalah yang "paling penting" sejak Polandia mengakhiri komunisme di tahun 1989.
Berkuasa sejak 2015 dengan dipimpin mantan Perdana Menteri Jaroslaw Kacyznski, Partai Hukum dan Keadilan (PiS) mencoba meraih suara dari kelompok menengah ke bawah lewat program tunjangan anak, bebas pajak bagi warga berpenghasilan rendah, penaikan jumlah uang pensiun serta upah minimum.
Kacyznski juga berusaha meraih simpati masyarakat dari segmen lain dengan menyerang hak-hak LGBT dan menolak nilai-nilai berhaluan Barat.
Didukung Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tusk -- musuh utama Kacyznski -- Koalisi Rakyat (KO) di kubu oposisi berusaha menggaet suara masyarakat urban yang kesal terhadap sejumlah kebijakan politik PiS serta maraknya korupsi dan monopoli media publik.
Dua jajak pendapat yang dirilis pada Jumat kemarin mengindikasikan bahwa PiS berpotensi hanya meraih 40 hingga 41,7 persen suara. Sementara suara gabungan kubu oposisi diestimasi antara 41,4 hingga 45 persen.
"Tingkat partisipasi warga sangat menentukan apakah PiS akan memimpin seorang diri di pemerintahan, atau apakah mereka harus membentuk koalisi, atau bahkan kehilangan suara mayoritas," kata Anna Materska-Sosnowska, seorang ilmuwan politik dari Waswaw University, kepada kantor berita AFP.
Partisipasi warga dalam pemilu Polandia pada 2015 adalah 50,92 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News