Macron adalah capres moderat pro Uni Eropa yang pernah menjadi menteri ekonomi di bawah Francois Hollande. Sementara Le Pen adalah tokoh sayap kanan yang ingin menarik Prancis keluar dari Uni Eropa, seperti yang sudah dilakukan Inggris.
Kedua tokoh memiliki pandangan kontras mengenai beragam hal, mulai dari Eropa secara umum, keimigrasian, perekonomian dan identitas Prancis.
Sejumlah survei memprediksi Macron akan menang telak di pemilu Prancis putaran kedua pada 7 Mei mendatang, dengan angka 59 persen melawan 41. Namun belakangan, kubu Le Pen mendapatkan momentum di momen-momen akhir masa kampanye.
"Tujuan kami adalah menghindari debat ini menjadi ajang saling serang," ujar seorang ajudan Macron kepada AFP, beberapa jam sebelum debat dimulai.
Apapun hasilnya, acara debat merupakan langkah baru bagi Le Pen, yang partainya -- Front Nasional -- dianggap berideologi ekstremis atau rasis yang dinilai sejumlah pihak perlu segera diboikot.

Strategi Le Pen
Saat ayahnya, Jean-Marie Le Pen, maju ke putaran final pemilu pada 2002, Jacques Chirac menolak ikut debat dengan dirinya karena khawatir "akan membuat kebencian dan intoleransi seperti hal biasa."
Lima belas tahun kemudian, Le Pen mendapatkan 21,3 persen di pemilu putaran pertama pada 23 April kemarin setelah sukses melembutkan citra keras dari Front Nasional. Namun Le Pen tidak menyingkirkan ideologi partai tersebut.
Strategi Le Pen adalah menggambarkan Macron sebagai kelanjutan dari Hollande, presiden Prancis saat ini yang tingkat kepuasan publiknya merosot tajam.
"Jika dia (Macron) kesulitan, dia selalu bisa meminta Francois Hollande untuk datang dan memegangi tangannya. Saya tidak akan protes," tulis Le Pen di Twitter.
Tertinggal jauh di berbagai jajak pendapat, debat televisi adalah kesempatan bagi Le Pen untuk memukau jutaan warga Prancis atau mengeksploitasi kesalahan yang mungkin dilakukan Macron untuk mengatrol popularitasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News