Merkel menilai larangan yang diresmikan lewat perintah eksekutif presiden itu tidak dapat dibenarkan.
"Merkel menyayangkan larangan masuk ke AS terhadap pengungsi dan warga dari beberapa negara," ujar juru bicara Kanselir Jerman, Steffen Seibert, dalam pernyataan resminya.
"Dia meyakini bahwa dalam perang melawan terorisme, tidak dapat dibenarkan untuk mencurigai orang-orang dari negara dan agama tertentu," sambung dia, seperti dikutip AFP, Minggu (29/1/2017).
Seibert menambahkan, Berlin "akan memeriksa konsekuensi" dari larangan imigrasi AS terhadap warga Jerman yang memiliki kewarganegaraan ganda.
Trump memicu gelombang kecaman di dalam dan luar negeri usai menandatangani perintah eksekutif pada Jumat 27 Januari. Dalam perintah itu, AS melarang sementara kedatangan imigran dan warga dari tujuh negara hingga tiga bulan ke depan.
Tujuh negara mayoritas Muslim itu adalah Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman.
Seorang hakim federal memblokade sebagian dari perintah eksekutif Trump, dengan memerintahkan otoritas berhenti mendeportasi pengungsi dan warga yang terjebak di beberapa bandara AS.
Kecaman Merkel dilontarkan satu hari setelah dirinya berbicara dengan Trump via telepon. Mereka membicarakan beragam isu, mulai dari hubungan dengan Rusia hingga situasi terkini di Timur Tengah dan NATO.
Pernyataan Jerman dan AS setelah sambungan telepon tidak menyinggung masalah keimigrasian. Namun Merkel berusaha mengingatkan Trump bahwa seorang pemimpin memiliki tanggung jawab moral.
"Konvensi Pengungsi Jenewa menyerukan komunitas internasional untuk melindungi pengungsi perang dengan dasar kemanusiaan," ungkap Seibert. "Kanselir menekankan hal ini dalam sambungan teleponnya dengan presiden AS," tambah dia.
Dalam wawancara dengan media Eropa belakangan ini, Trump mengatakan Merkel telah membuat "kesalahan besar" dengan mengizinkan sejumlah imigran ke Jerman.
Lebih dari tiga juta orang, termasuk ratusan ribu dari Suriah, telah tiba di Jerman sejak Merkel membuka pintu Jerman dalam beberapa bulan terakhir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News