Pada Jumat 31 Januari, Inggris resmi keluar dari keanggotaan UE setelah 47 tahun menjadi bagian dari blok Eropa tersebut. Brexit, istilah lain dari keluarnya Inggris dari UE, terjadi usai negara tersebut menggelar referendum terkait pada 2016.
Melalui sebuah surat terbuka, Macron mengaku terus memikirkan jutaan warga Inggris yang "merasa masih terikat dengan Uni Eropa."
"Anda semua telah meninggalkan Uni Eropa, tapi Anda tidak meninggalkan Eropa, atau terpisah dari Prancis," lanjut dia, seperti dikutip dari BBC, Sabtu 1 Februari 2020.
"Terusan (Inggris) tidak pernah bisa memisahkan takdir kita, begitu juga dengan Brexit," ungkap Macron, merujuk pada perairan memanjang yang memisahkan Inggris Selatan dengan Prancis Utara.
Macron juga mengatakan UE harus belajar banyak dari "kejutan" yang dipicu Brexit. Ia meyakini UE saat ini membutuhkan momentum baru agar bisa bergerak lebih optimal sebagai suatu kesatuan.
Mengenai negosiasi Brexit, Macron menegaskan bahwa Prancis dan negara anggota UE lainnya tidak pernah menganggap Inggris sebagai pengkhianat yang harus dihukum.
Dalam sebuah pesan di media sosial satu jam sebelum kepergian Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson menyebut Brexit merupakan momen besar dari sebuah harapan. "Ini merupakan sebuah momen yang dirasa banyak orang tidak akan mungkin terjadi," ucap dia.
"Dan tentu saja banyak orang yang merasa gelisah serta kehilangan. Ada juga grup ketiga -- mungkin jumlahnya terbesar -- yang merasa kekisruhan politik (seputar Brexit) ini tidak akan pernah berakhir," sambungnya.
PM Johnson mengaku memahami semua kelompok masyarakat terkait Brexit. Ia menegaskan tugasnya sebagai kepala pemerintahan adalah menyatukan seluruh elemen masyarakat dan membawa negara ini maju ke masa depan yang lebih cerah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News