Ini merupakan kali pertama Reuters secara terbuka mengonfirmasi bahwa dua jurnalisnya, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, telah menginvestigasi dugaan kekerasan terhadap Rohingya. Keduanya telah ditangkap otoritas Myanmar pada 12 Desember di pinggiran kota Yangon.
Dua jurnalis lokal itu kini menghadapi ancaman 14 tahun penjara atas tuduhan memiliki sejumlah dokumen rahasia yang dinilai melanggar aturan Secrets Act Myanmar.
Nasib kedua wartawan itu memicu kekhawatiran global mengenai kebebasan pers di Myanmar, terutama mengenai masalah Rohingya di Rakhine.
Hampir 70 ribu Rohingya telah melarikan diri dari Rakhine sejak Agustus. Banyak dari mereka menceritakan kekejaman yang dilakukan prajurit Myanmar dan beberapa grup warga lokal terhadap Rohingya.
Myanmar membantah semua hal tersebut, dan menegaskan hanya melakukan operasi perburuan teroris. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut telah terjadi usaha pembersihan etnis di Rakhine.
Kamis kemarin, Reuters merilis sebuah laporan yang mendeskripsikan bagaimana prajurit Myanmar serta warga lokal beragama Buddha yang mengeksekusi 10 pria Rohingya di desa Inn Din, Rakhine, pada 2 September 2017. Usai dibunuh, sepuluh pria itu kemudian dilempar ke sebuah kuburan massal.

Foto satelit di atas desa Inn Din. (Foto: Planet.com/AFP)
"Investigasi Reuters mengenai pembantaian Inn Din yang membuat otoritas Myanmar menangkap dua jurnalis," tulis di sebuah laporan, seperti dikutip AFP.
Laporan dua jurnalis meliputi sejumlah foto korban, yang berlutut di lantai dengan tangan terikat tali sebelum dibunuh. Terdapat pula beberapa foto jasad di kuburan massal.
PBB menyebut detail dari laporan Reuters itu merupakan sesuatu yang sangat "mengkhawatirkan."
"Hal ini semakin memperkuat perlu adanya investigasi menyeluruh oleh otoritas Myanmar mengenai segala kekerasan di Rakhine," ungkap juru bicara PBB Fahan Haq di New York.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News