"Setelah berdebat cukup sengit, komite politik memperbarui dukungan untuk Francois Fillon dengan suara bulat," kata Juru bicara senat Gerard Larcher kepada wartawan, seperti dikutip AFP, Selasa 7 Maret 2017.
Pernyataan disampaikan setelah sekitar 20 tokoh senior Republik bertemu untuk "mengevaluasi" krisis yang dipicu skandal pekerjaan palsu yang menggembosi kampanye Fillon.
Fillon, 63 tahun, mengatakan bahwa keputusan bulat Juppe "menegaskan bahwa tidak ada rencana lain" dalam pencalonannya.
Tujuh pekan sebelum Prancis menghelat perayaan pemilu, Fillon berkata: "Kita sudah kehilangan terlalu banyak waktu dengan perdebatan sia-sia, membuka jalan bagi kandidat sayap kanan dan sayap kiri bertepuk tangan menyemangati perpecahan kita."
Dalam petikan pernyataan sebelumnya, Juppe mengatakan dirinya tidak akan berdiri bersama Fillon. Juppe menilai Fillon telah menyimpang dari sistem peradilan dan menimbulkan gesekan di media.
Dia juga mengatakan, Prancis "sakit" dan menderita "krisis kepercayaan mendalam".
Jajak pendapat menyiratkan, Juppe akan lebih populer di kalangan pemilih. Tetapi sosok moderat itu dianggap terlalu lembek pada masalah keimigrasian dan sosial lainnya bagi banyak pendukung Fillon di sayap kanan partai.
Skandal Pekerjaan Palsu
Keputusan Juppe menyisihkan diri membuat Fillon bebas melenggang maju menuju kekuasaan. Kendati kemungkinan dia dituntut pidana akhir bulan ini, serta diterpa kritik dari dalam partai, dan merosotnya popularitas pada sejumlah jajak pendapat.
Fillon awalnya favorit untuk menjadi pemimpin Prancis mendatang. Tetapi kampanyenya terjungkal setelah dirinya dituduh memakai uang negara untuk membayar istrinya yang pura-pura bekerja di parlemen.
Bersikeras bahwa dirinya adalah "satu-satunya calon sah", Fillon berseru: "Para pemilih kita tidak akan mengampuni orang-orang yang meracuni urusan ini".
Pada Minggu 5 Maret, Fillon dibanjiri aksi puluhan ribu pendukungnya di Paris.
Namun sebelumnya, jajaran mantan sekutu Presiden Nicolas Sarkozy masih memaksa Fillon agar mundur sembari menyodorkan nama penggantinya.
Pertikaian antara aktivis Partai Republik dan kampanye kisruh Fillon menyebabkan arah pilpres Prancis susah ditebak.
Kesemrawutan ini menuai manfaat bagi kelompok moderat Prancis, terutama kalangan pro-bisnis Emmanuel Macron, serta pemimpin sayap kanan Marine Le Pen. Sesuai yang ditunjukkan jajak pendapat, mereka berdua berada di posisi teratas di putaran pertama pilpres pada 23 April.
Jajak pendapat menunjukkan Macron, 39 tahun, akan mengalahkan Le Pen di putaran kedua pada 7 Mei -- tapi setelah kemenangan Donald Trump dan Inggris keluar dari Uni Eropa, para pengamat tidak berani memprediksi lebih jauh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News