Sebelumnya, pertahanan kolektif NATO hanya berlaku bagi serangan di darat, laut, dan udara. Pada 2019, luar angkasa disebut NATO sebagai "wilayah kelima."
Sekitar 2.000 satelit berada di orbit Bumi, yang lebih dari separuhnya dioperasikan negara-negara NATO. Komandan militer negara NATO mengandalkan satelit untuk bernavigasi, berkomunikasi, berbagi data intelijen, atau mendeteksi peluncuran misil.
Sementara di kalangan masyarakat sipil, satelit digunakan untuk jaringan telepon genggam, prakiraan cuaca, dan layanan perbankan daring.
Dalam komunike usai KTT NATO di Brussels, para pemimpin mengatakan bahwa aliansi menganggap "setiap serangan dari, menuju, atau di luar angkasa" sebagai ancaman terhadap "kesejahteraan, keamanan, dan stabilitas Euro-Atlantik."
"Serangan semacam itu dapat sama merusaknya seperti serangan konvensional," lanjut NATO, dilansir dari laman nzherald.co.nz pada Selasa, 15 Juni 2021.
Jika serangan terhadap anggota NATO terjadi di luar angkasa, maka aliansi tersebut dapat mengaktifkan Artikel 5 terkait respons kolektif. Pihak penyerang akan dianggap sebagai musuh oleh semua anggota NATO.
Klausul pertahanan kolektif NATO baru digunakan satu kali saat terjadinya serangan 9/11 di Amerika Serikat. Presiden AS Joe Biden menekankan bahwa Artikel 5 NATO merupakan "tugas suci" di kalangan negara sekutu.
"Saya hanya ingin semua Eropa mengetahui bahwa Amerika Serikat akan selalu ada untuk mereka," ungkapnya.
Masih dalam komunike yang sama, NATO melabeli Tiongkok sebagai negara yang menghadirkan "tantangan sistemik." Ini kali pertamanya NATO menggunakan istilah 'menyerang' terhadap Negeri Tirai Bambu.
Baca: NATO Labeli Tiongkok sebagai 'Tantangan Sistemik'
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id