Bulan lalu, Presiden Emmanuel Macron mengaku akan mengurangi sebagian personel militer Prancis di Sahel yang jumlahnya sekitar 5.100. Pasukan Prancis telah ditugaskan di wilayah Sahel sejak delapan tahun terakhir dalam menangani ancaman dari beberapa grup militan seperti al-Qaeda dan Islamic State (ISIS).
"Kami akan tetap berkomitmen (terhadap Sahel). Namun berkomitmen juga dapat diartikan beradaptasi," kata Macron dalam sebuah konferensi pers usai bertemu pemimpin Niger, Mali, Chad, Burkina Faso, dan Mauritania.
Dari 5.100 personel militer Prancis di Sahel, Macron berencana mengurangi jumlahnya menjadi 2.500 hingga 3.000. Ia tidak menyebutkan tanggal pasti pengurangan jumlah pasukan tersebut.
Mengenai penarikan ini, Macron menegaskan Prancis tidak menelantarkan mitra-mitranya di Afrika, dan tetap berkomitmen untuk selalu memerangi al-Qaeda serta ISIS.
"Prancis tidak memiliki vokasi untuk tinggal selamanya di Sahel," tutur Macron, dikutip dari laman Fars News Agency pada Sabtu, 10 Juli 2021. "Kami ada di sana karena diminta," sambungnya.
Pasukan Prancis berada di Mali sejak 2013, saat mereka mengintervensi upaya mengusir pemberontak dari kota-kota di wilayah utara negara tersebut.
Operasi militer Prancis bertajuk Operation Serval kemudian diganti menjadi Operation Barkhane. Operasi ini melibatkan beberapa negara lain dalam upaya menstabilkan situasi di Sahel.
Menurut data Armed Conflict and Location Event Data Project, hampir 7.000 orang tewas dalam pertempuran di sejumlah negara wilayah Sahel.
Akhir Januari lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan bahwa "aksi kekerasan" di Sahel telah membuat lebih dari dua juta warga telantar, naik dari angka 490 ribu di awal 2019.
Baca: Operasi Gabungan Prancis dan Mali Tewaskan 100 Ekstremis
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News