Hollande akan menghadapi pertanyaan terkait bagaimana kelompok teroris dapat menghindari deteksi, sambil mempersiapkan kekejaman yang akan mengguncang Prancis hingga ke intinya.
Dilansir dari AFP, Rabu, 10 November 2021, Hollande yang merupakan pemimpin Prancis dari 2012 hingga 2017 tengah menghadiri pertandingan persahabatan sepak bola Prancis-Jerman pada 13 November 2015 malam di stadion Stade de France, Saint-Denis, Paris.
Saat itu, pengebom pertama disebut meledakkan rompinya, mendorong petugas keamanan untuk membawanya pergi, ketika dua ledakan lainnya kembali mengguncang.
Kemudian, sejumlah orang bersenjata menembaki kafe dan restoran di bagian ibukota yang ramai dan menyerbu gedung konser Bataclan. Mereka membunuh tanpa pandang bulu dan melakukan penyanderaan.
Hollande dengan cepat tampil di televisi untuk berbicara tentang ”kengerian” yang kian berlangsung, yang pada akhir malam menyebabkan sebanyak 130 warga tewas. Hollande pun menyatakan keadaan darurat.
Meskipun berada di radar dinas intelijen, rincian terkait berapa banyak penyerang atau sekutu yang masuk diketahui masih tidak jelas. Hal ini telah mendorong beberapa keluarga korban bertanya-tanya, apakah pertumpahan darah dapat dicegah.
Prancis disebut telah waspada terhadap serangan jihadis, sejak pembantaian 12 orang di surat kabar satir, Charlie Hebdo. Selain itu, empat korban lain dalam penyanderaan sebuah toko kelontong Yahudi selama tiga hari pada Januari 2015.
Life for Paris, asosiasi korban yang merupakan salah satu dari beberapa penggugat dalam persidangan serangan November 2015 meminta, Hollande untuk bersaksi atas upaya pemerintahannya dalam melawan ancaman jihadis.
Dari 10 penyerang, beberapa diantaranya menyelinap ke Eropa dari Islamic State (ISIS) di Suriah. Mereka menggunakan paspor palsu serta berbaur dengan arus migran yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan.
Seluruhnya pun dilaporkan tewas atau ditembak oleh pihak kepolisian, terkecuali Salah Abdeslam, warga negara ganda Prancis-Maroko yang ditangkap di Brussel usai melepaskan rompi bunuh diri.
Namun, beberapa telah diketahui oleh agen intelijen atau di bawah pengawasan di Prancis, Belgia, dan di tempat lain, termasuk Abdelhamid Abaaoud yang diduga sebagai pemimpin serangan.
Abaaoud yang tewas dalam serangan polisi besar-besaran di pinggiran utara Paris Saint-Denis pada 18 November merupakan jihadis berbahasa Prancis terkemuka di Suriah, dengan peran masa lalunya dalam beberapa serangan yang digagalkan di Prancis.
Rekan para penyerang pun disebut berada dalam radar pasukan keamanan Eropa dan memicu pertanyaan terkait, apakah badan intelijen melewatkan atau salah menangani informasi penting yang dapat membantu mencegah serangan.
“Hollande tahu risiko yang dia ambil dalam menyerang ISIS,” kata Abdeslam, selama persidangan maraton yang dimulai pada September.
Ia mengacu pada keputusan Hollande untuk mengizinkan serangan udara Prancis terhadap kelompok tersebut di Suriah, sebagai bagian dari koalisi pimpinan Amerika Serikat guna mengusir para jihadis dari wilayah yang mereka rebut dalam upaya untuk menciptakan “kekhalifahan” Islam.
Namun, sejauh ini, Abdeslam diketahui menolak untuk memberikan rincian rencana operasional kepada pihak penyidik. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News