Tedros menyebut bahwa konflik Yaman, Suriah, Myanmar, Sudan ke Haiti, Sahel di Afrika, "dan sekarang perang di Ukraina, telah menimbulkan malapetaka yang mengguncang fondasi tatanan internasional."
Dampak dari perang di Ukraina melewati perbatasan negaranya, yaitu memicu lonjakan harga bahan pangan, bahan bakar, dan pupuk. Negara-negara berkembang amat menanggung imbas perang tersebut.
Kepada Komisi Pembangunan Perdamaian PBB (PBC), Guterres menyampaikan bahwa sebanyak 84 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Jumlah itu belum termasuk perang Ukraina, yang menyebabkan 4 juta warga melarikan diri ke sejumlah negara. Di luar angka tersebut, terdapat 6,5 juta rakyat Ukraina yang telantar di dalam negeri.
PBB memperkirakan tahun ini "setidaknya 274 juta (orang) akan membutuhkan bantuan kemanusiaan." Ini merupakan peningkatan 17 persen dari 2021, dengan estimasi biaya $41 miliar (kisaran Rp588,4 triliun) untuk 183 juta orang yang menjadi sasaran bantuan.
Sebelumnya, Guterres sempat menyebut angka 2 miliar orang yang hidup di wilayah konflik dalam laporan ke Komisi pada akhir Januari. Laporan tersebut menyampaikan ada rekor angka konflik, yakni 56 konflik berbasis negara di 2020. Angka Itu tidak termasuk konflik di Ukraina, di mana Rusia memulai perang dengan meluncurkan invasi pada 24 Februari dan berdampak pada 40 juta penduduk di negara tersebut.
Sekjen mengatakan kepada PBC bahwa konflik kian meningkat "di saat risiko terus bertambah, yang semakin mendorong perdamaian jauh dari jangkauan." Masalah yang dimaksud di antaranya kesenjangan, Covid-19, perubahan iklim, hingga ancaman siber.
Guterres juga menyoroti peningkatan kudeta militer dan perebutan kekuasaan di seluruh dunia, bertambahnya senjata nuklir, serta pelanggaran HAM dan hukum internasional.
Ia juga menyebut terjadinya peningkatan jaringan kriminal dan teroris yang "mendorong serta mengambil keuntungan dari perpecahan dan konflik."
"Api konflik didorong ketidaksetaraan dan sistem yang kekurangan dana," kata Guterres, menekankan bahwa masalah ini harus segera ditangani.
Baca: PBB Adopsi Resolusi Situasi Kemanusiaan Mengerikan di Ukraina
Menurut laporannya kepada PBC, dunia kini mengalami peningkatan internasionalisasi konflik. Hal itu, beserta perpecahan dan bertambahnya kelompok bersenjata yang memiliki hubungan dengan jaringan kriminal dan teroris, "membuat pencarian solusi menjadi sulit," ucap Guterres.
"Selama satu dekade terakhir, dunia telah menghabiskan $349 miliar (Rp5.000 T) untuk menjaga perdamaian, bantuan kemanusiaan dan bantuan pengungsi," ujar Guterres. "Dan pengeluaran militer global meningkat menjadi hampir $2 triliun (Rp28,7 triliun) pada tahun 2020."
Komisi Pembangunan Perdamaian bekerja untuk memajukan perdamaian dan mencegah konflik di berbagai negara, termasuk Pantai Gading (Ivory Coast), Irak, wilayah Danau Besar Afrika dan Papua Nugini. Dana Pembangunan Perdamaian pun mengalami perkembangan, dengan capaian $195 juta (sekitar Rp2,8 triliun) tahun lalu.
Tapi itu bergantung pada kontribusi sukarela. Di sisi lain, kebutuhan pembangunan perdamaian jauh melampaui sumber daya yang ada. Oleh karena itu, Guterres meminta Majelis Umum PBB untuk menilai 193 negara anggota PBB dengan total $100 juta (Rp1,4 triliun) per tahun untuk dana tersebut.
"Saat kita mempertimbangkan dampak perang, bagi ekonomi global tetapi terutama untuk kehidupan manusia, pembangunan perdamaian adalah kesepakatan dan prasyarat pembangunan serta masa depan yang lebih baik untuk semuanya," katanya. (Kaylina Ivani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News