Hambali Riduan Isamuddin, otak pengeboman di Bali diadili di Amerika Serikat. Foto: AFP
Hambali Riduan Isamuddin, otak pengeboman di Bali diadili di Amerika Serikat. Foto: AFP

Hambali, Otak Serangan Bom Bali Mulai Diadili di Penjara Guantanamo

Fajar Nugraha • 31 Agustus 2021 06:56
Guantanamo: Tersangka pelaku bom Bali asal Indonesia, Hambali, diadili di pengadilan di pusat penahanan Guantanamo bersama dengan dua warga Malaysia. Mereka menghadapi tuduhan yang mencakup pembunuhan, konspirasi dan terorisme.
 
Hambali yang memiliki nama asli Encep Nurjaman adalah seorang pemimpin Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok militan Asia Tenggara yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda. Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan dia merekrut militan, termasuk dua orang Malaysia, Mohammed Farik bin Amin dan Mohammed Nazir bin Lep Nurjaman untuk operasi teror.
 
Di antara plot serangan yang dilakukan Al-Qaeda dan Jemaah Islamiyah adalah bom bunuh diri Oktober 2002 di Paddy's Pub dan Sari Club di Bali dan bom bunuh diri Agustus 2003 di Hotel JW Marriott di Jakarta. Serangan itu bersama-sama menewaskan 213 orang, termasuk 202 di Bali, 88 diantaranya warga Australia. Jaksa menuduh Mohammed Farik dan Mohammed Nazir bertindak sebagai perantara dalam transfer uang yang digunakan untuk mendanai operasi kelompok tersebut.

Ketiganya ditangkap di Thailand pada 2003 dan dipindahkan ke “situs hitam” CIA, di mana mereka disiksa dan disiksa, menurut laporan Komite Intelijen Senat yang dirilis pada tahun 2014. Pada tahun 2006, mereka dipindahkan ke Guantánamo.
 
Sidang dakwaan di pangkalan AS di Kuba berulang kali terhenti pada Senin karena masalah yang melibatkan penerjemah ruang sidang. Ini hanyalah langkah pertama dalam perjalanan hukum yang panjang untuk sebuah kasus yang melibatkan bukti yang dinodai oleh penyiksaan CIA, sebuah masalah yang telah menyebabkan kasus-kasus kejahatan perang lainnya merana selama bertahun-tahun di Guantánamo.
 
Sidang juga dilakukan saat pemerintahan Biden mengatakan, akan menutup pusat penahanan, di mana AS masih menahan 39 dari 779 orang yang ditangkap setelah serangan dan invasi 11 September 2001 ke Afghanistan.
 
Sebanyak tiga orang yang didakwa sehubungan dengan pengeboman klub malam ditahan di sel rahasia CIA selama tiga tahun, diikuti oleh 15 orang lagi di pangkalan AS yang terisolasi di Kuba.
 
“Hampir 20 tahun kemudian, saksi telah meninggal, pemandangan telah berubah secara dramatis,” kata Brian Bouffard, pengacara Mohammed Nazir bin Lep, salah satu warga Malaysia, sebelum sidang.
 
"Dalam pandangan saya, itu fatal bagi kemampuan untuk menjalankan pengadilan yang adil,” tegas Boufford, seperti dikutip Guardian, Selasa 31 Agustus 2021.
 
“Keputusan untuk mendakwa mereka, yang dibuat oleh pejabat hukum Pentagon pada akhir pemerintahan Trump, juga memperumit upaya untuk menutup pusat penahanan,” kata Bouffard.
 
“Hal itu makin mempersulit pemerintahan baru untuk menjebloskan salah satu dari orang-orang itu ke dalam penjara. Bahkan akan lebih sulit setelah dakwaan," ucapnya.
 
Tuntutan itu berjalan lebih awal karena pengacara dari warga Malaysia mempertanyakan kemampuan penerjemah ruang sidang, yang tampaknya berbicara dengan terbata-bata dalam bahasa Inggris dan Melayu. Mereka juga mengungkapkan bahwa penerjemah lain yang bekerja dengan jaksa sebelumnya telah bekerja dengan para pria untuk penampilan mereka di hadapan dewan pembebasan bersyarat di pusat penahanan.
 
“Dia memiliki informasi rahasia yang mungkin dia bagikan dengan kejaksaan sekarang,” kata Christine Funk, pengacara Mohammed Farik bin Amin.
 
Tidak jelas mengapa butuh waktu lama untuk menuntut mereka di hadapan komisi militer. Jaksa militer mengajukan tuntutan terhadap orang-orang tersebut pada Juni 2017, tetapi pejabat hukum Pentagon yang mengawasi kasus-kasus Guantánamo menolak dakwaan tersebut dengan alasan yang belum diungkapkan kepada publik.
 
Kasus ini memiliki banyak elemen yang membuatnya rumit, termasuk apakah pernyataan yang dibuat orang-orang tersebut kepada pihak berwenang dapat ditahan di pengadilan karena pelecehan yang mereka alami dalam tahanan CIA. Fakta bahwa orang-orang telah dihukum, dan dalam beberapa kasus dieksekusi, di Indonesia terkait serangan itu, dan waktu yang dibutuhkan untuk mengajukan tuntutan.
 
Beberapa dari masalah yang sama telah muncul dalam kasus terhadap lima tahanan Guantanamo yang dituduh merencanakan dan membantu serangan 9/11. Mereka didakwa pada Mei 2012 dan masih dalam tahap praperadilan, tanpa tanggal persidangan yang dijadwalkan.
 
Funk memperkirakan periode panjang penyelidikan pertahanan yang akan membutuhkan perjalanan ekstensif, setelah pandemi berakhir, untuk mewawancarai saksi dan mencari bukti. “Namun kliennya cemas dan ingin mengajukan kasus ini dan pulang,” pungkas Funk.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan