New York: Komite Perlindungan Jurnalis yang berbasis di New York (CPJ) mengatakan, jumlah jurnalis yang dipenjara di seluruh dunia mencapai rekor baru pada 2021. Tiongkok dan Myanmar telah menempatkan seperempat dari 293 pekerja media, yang ditahan di balik jeruji besi.
Dilansir dari AFP, Jumat, 10 Desember 2021, CPJ dalam laporan tahunannya mencantumkan 50 jurnalis yang dipenjara di Tiongkok, 26 di Myanmar, 25 di Mesir, 23 di Vietnam, dan 19 di Belarusia.
Komite yang berdiri sejak 1981 tersebut menambahkan, rekor baru itu termasuk mereka yang dipenjara di Arab Saudi, Iran, Turki, Rusia, Ethiopia, dan Eritrea. Total 293 wartawan dipenjara di seluruh dunia per 1 Desember 2021, angkanya dilaporkan meningkat dari 280 tahun sebelumnya.
“Ini adalah tahun keenam berturut-turut CPJ mendokumentasikan rekor jumlah jurnalis yang dipenjara di seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif CPJ, Joel Simon.
“Memenjarakan wartawan karena melaporkan berita adalah ciri rezim otoriter,” ujar Simon dalam sebuah pernyataan.
Selama 40 tahun, komite yang memiliki tujuan ‘kebebasan pers dan hak asasi jurnalis’ itu mengecam jurnalis yang dibunuh, dipenjara, disensor, disakiti, dan diancam secara fisik.
“Sungguh menyedihkan melihat banyak negara dalam daftar tahun demi tahun, tetapi sangat mengerikan bahwa Myanmar dan Ethiopia telah secara brutal membanting pintu kebebasan pers,” ucap petinggi CPJ yang juga berprofesi sebagai penulis tersebut.
“Ini telah menjadi bagian dari tren otoritarianisme yang merayap di seluruh dunia,” pungkas Wakil Ketua CPJ, Robert Mahoney.
“Pemerintah menjadi semakin tidak toleran terhadap kritik,” tutur Mahoney.
“Trennya telah meningkat, dan saya pikir itu adalah bagian dari realisasi di beberapa pemerintah tertentu bahwa sangat sedikit harga politik yang harus dibayar untuk melakukan itu,” ungkapnya.
“Bisa jadi, kalian tahu, sebelum seseorang bisa menyebut dan mempermalukan pemerintah, pemerintah menginginkan hubungan diplomatik atau komersial dengan demokrasi liberal yang menjunjung tinggi nilai-nilai ini. Tampaknya itu semakin jarang terjadi,” imbuh Mahoney.
CPJ pun menghitung, 24 jurnalis tewas di seluruh dunia tahun ini. Meksiko “tetap menjadi negara paling mematikan bagi jurnalis di belahan bumi Barat, dengan tiga orang dibunuh karena liputan mereka dan motif enam pembunuhan lainnya sedang diselidiki.”
India diketahui masuk dalam daftar teratas, dengan empat jurnalis tewas tahun ini. CPJ menerangkan, jumlah wartawan di balik jeruji mencerminkan “meningkatnya intoleransi untuk pelaporan independen di seluruh dunia.”
Laporan tersebut mencatat, lingkungan yang membatasi bagi wartawan di seluruh dunia. Hal itu termasuk undang-undang yang digunakan untuk menargetkan wartawan di Hong Kong dan Xinjiang, kudeta di Myanmar, perang di Ethiopia Utara, dan tindakan keras terhadap oposisi di Belarusia.
Mahoney mengatakan, selain intimidasi dan pemenjaraan, pemerintah yang represif menemukan cara lain untuk membungkam kritik “yang cenderung tidak menarik kecaman internasional”.
“Memenjarakan, tetapi juga mengikat wartawan dalam undang-undang, membangkrutkan mereka dengan tuntutan hukum,” ucap Mahoney.
“Bisa saja, misalnya membatasi alat komunikasi mereka, ketika ada berita besar. Jadi kami telah melihat pelambatan internet, artinya, memperlambat kecepatan internet sehingga hampir tidak mungkin untuk mengunggah video atau gambar protes,” pungkas Mahoney. (Nadia Ayu Soraya)
Dilansir dari AFP, Jumat, 10 Desember 2021, CPJ dalam laporan tahunannya mencantumkan 50 jurnalis yang dipenjara di Tiongkok, 26 di Myanmar, 25 di Mesir, 23 di Vietnam, dan 19 di Belarusia.
Komite yang berdiri sejak 1981 tersebut menambahkan, rekor baru itu termasuk mereka yang dipenjara di Arab Saudi, Iran, Turki, Rusia, Ethiopia, dan Eritrea. Total 293 wartawan dipenjara di seluruh dunia per 1 Desember 2021, angkanya dilaporkan meningkat dari 280 tahun sebelumnya.
“Ini adalah tahun keenam berturut-turut CPJ mendokumentasikan rekor jumlah jurnalis yang dipenjara di seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif CPJ, Joel Simon.
“Memenjarakan wartawan karena melaporkan berita adalah ciri rezim otoriter,” ujar Simon dalam sebuah pernyataan.
Selama 40 tahun, komite yang memiliki tujuan ‘kebebasan pers dan hak asasi jurnalis’ itu mengecam jurnalis yang dibunuh, dipenjara, disensor, disakiti, dan diancam secara fisik.
“Sungguh menyedihkan melihat banyak negara dalam daftar tahun demi tahun, tetapi sangat mengerikan bahwa Myanmar dan Ethiopia telah secara brutal membanting pintu kebebasan pers,” ucap petinggi CPJ yang juga berprofesi sebagai penulis tersebut.
“Ini telah menjadi bagian dari tren otoritarianisme yang merayap di seluruh dunia,” pungkas Wakil Ketua CPJ, Robert Mahoney.
“Pemerintah menjadi semakin tidak toleran terhadap kritik,” tutur Mahoney.
“Trennya telah meningkat, dan saya pikir itu adalah bagian dari realisasi di beberapa pemerintah tertentu bahwa sangat sedikit harga politik yang harus dibayar untuk melakukan itu,” ungkapnya.
“Bisa jadi, kalian tahu, sebelum seseorang bisa menyebut dan mempermalukan pemerintah, pemerintah menginginkan hubungan diplomatik atau komersial dengan demokrasi liberal yang menjunjung tinggi nilai-nilai ini. Tampaknya itu semakin jarang terjadi,” imbuh Mahoney.
CPJ pun menghitung, 24 jurnalis tewas di seluruh dunia tahun ini. Meksiko “tetap menjadi negara paling mematikan bagi jurnalis di belahan bumi Barat, dengan tiga orang dibunuh karena liputan mereka dan motif enam pembunuhan lainnya sedang diselidiki.”
India diketahui masuk dalam daftar teratas, dengan empat jurnalis tewas tahun ini. CPJ menerangkan, jumlah wartawan di balik jeruji mencerminkan “meningkatnya intoleransi untuk pelaporan independen di seluruh dunia.”
Laporan tersebut mencatat, lingkungan yang membatasi bagi wartawan di seluruh dunia. Hal itu termasuk undang-undang yang digunakan untuk menargetkan wartawan di Hong Kong dan Xinjiang, kudeta di Myanmar, perang di Ethiopia Utara, dan tindakan keras terhadap oposisi di Belarusia.
Mahoney mengatakan, selain intimidasi dan pemenjaraan, pemerintah yang represif menemukan cara lain untuk membungkam kritik “yang cenderung tidak menarik kecaman internasional”.
“Memenjarakan, tetapi juga mengikat wartawan dalam undang-undang, membangkrutkan mereka dengan tuntutan hukum,” ucap Mahoney.
“Bisa saja, misalnya membatasi alat komunikasi mereka, ketika ada berita besar. Jadi kami telah melihat pelambatan internet, artinya, memperlambat kecepatan internet sehingga hampir tidak mungkin untuk mengunggah video atau gambar protes,” pungkas Mahoney. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News