Namun, pengamat hubungan internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra menuturkan, Indonesia lemah jika berurusan dengan negara besar. Menurutnya, Indonesia terlalu berhitung mengenai ekonomi dan investasi.
"Bebas aktif itu tidak netral, tapi berpihak pada pihak yang lemah dan diserang. Posisi Indonesia di kasus-kasus lain selalu seperti itu," kata Radityo kepada Medcom.id, Jumat, 11 Maret 2022.
Sebelumnya, pengamat militer dan pertahanan keamanan, Connie Rahakundini Bakrie, menyarankan Indonesia bersikap abstain dalam menyikapi perang Rusia-Ukraina.
Menurut Connie, langkah Putin seperti dilakukan Soekarno ketika membangun Gerakan Non Blok (GNB). Langkah Putin seperti judul pidato Soekarno di PBB yakni 'To Build the World a New'.
GNB sejatinya dibangun untuk menghindari dunia yang terpolarisasi atas perang dingin antarnegara komunis dan negara kapitalis pro Amerika yang tergabung dalam NATO. Tujuan GNB salah satunya melawan kekuatan besar dan politik blok.
Membantah pernyataan Connie, Radityo mengatakan non-blok itu jika perang antara dua kubu, misalnya Amerika Serikat dan Rusia. Hal tersebut tidak bisa terjadi untuk situasi sekarang ini karena Ukraina negara kecil.
"Logika yang keliru malah dari pengamat yang bilang non-blok ataupun netral itu," seru dia.
Connie juga menuturkan, Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai sosok kedua dari Presiden pertama Indonesia Soekarno. Langkah Putin dinilai tengah menyeimbangkan kondisi dunia supaya tidak dikuasai satu kelompok.
Namun, menurut Radityo, ini menjadi masalah.
"Kita (masyarakat dan akademisi) dibutakan oleh romantisme masa lalu dan sosok personal. Walaupun cinta Putin, kalau dia salah, ya katakan salah," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id