Dilansir dari AFP, Jumat, 10 Desember 2021, pengadilan banding setuju dengan keputusan pengadilan yang lebih rendah bahwa Presiden AS, Joe Biden dapat mengabaikan hak istimewa eksekutif atas dokumen tersebut.
Sehingga, dokumen tersebut dapat diserahkan ke panel Kongres AS yang menyelidiki kekerasan oleh para pendukung Trump.
Mantan pemimpin AS berusia 75 tahun, yang telah dituduh mengobarkan serangan terhadap Kongres AS diketahui berusaha menggunakan hak istimewanya sebagai mantan presiden untuk merahasiakan dokumen.
Selain itu, merahasiakan catatan telepon yang mungkin terkait dengan serangan tersebut. Namun, pengadilan mengatakan, keputusan Biden lebih berbobot dalam kasus ini.
“Hak seorang mantan presiden tentu tidak memiliki bobot yang lebih besar dari pada yang sedang menjabat,” kata pengadilan banding dalam putusannya.
“Dalam kasus ini, Presiden Biden, sebagai kepala Cabang Eksekutif, secara khusus menemukan bahwa Kongres telah menunjukkan kebutuhan yang mendesak untuk dokumen-dokumen ini dan pengungkapan itu demi kepentingan terbaik bangsa,” jelas pengadilan.
Putusan itu tidak memicu pelepasan segera catatan tersebut. Pengadilan banding mengatakan, pengacara Trump akan memiliki waktu dua minggu untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Pengacara Trump diharapkan untuk meminta pembekuan baru pada rilis, sementara pengadilan tinggi meninjau kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Terlepas dari keputusan pengadilan banding hari ini, kasus ini selalu ditujukan ke Mahkamah Agung,” ujar Juru Bicara Trump, Liz Harrington.
“Tugas Presiden Trump untuk membela Konstitusi dan Kantor Kepresidenan berlanjut, dan ia akan terus berjuang untuk setiap warga AS dan setiap pemerintahan di masa depan,” tambah Harrington.
Pengadilan banding menegaskan, kepentingan publik lebih besar daripada kepentingan Trump dalam kaitannya dengan catatan yang dipegang oleh Arsip Nasional AS (NARA).
“Kepentingan publik itu meningkat ketika, seperti di sini, legislatif tengah melanjutkan dengan urgensi untuk mencegah serangan kekerasan terhadap pemerintah federal dan gangguan terhadap transfer kekuasaan secara damai,” terang pengadilan.
Dokumen dicari oleh Komite di Senat yang menyelidiki kekerasan 6 Januari. Saat itu, ratusan pendukung Trump memaksa penutupan Kongres dan menunda sesi bersama untuk mengonfirmasi, Biden telah memenangkan pemilihan November 2020 atas Trump dan akan menjadi presiden.
“Kami memuji keputusan pengadilan yang menentukan, yang menghormati kepentingan Komite Terpilih dalam memperoleh catatan Gedung Putih dan keputusan presiden yang mengizinkan catatan itu diproduksi,” tutur Ketua Komite Khusus Demokrat, Perwakilan Bennie Thompson dan Wakil Ketua Partai Republik, Liz Cheney dalam sebuah pertemuan bersama pada Kamis.
Dokumen yang ingin diblokir Trump, termasuk catatan dari para pembantu utamanya dan memo kepada mantan sekretaris persnya. Lebih dari 770 halaman, termasuk catatan mantan Kepala Staf, Mark Meadows, mantan Penasihat Senior, Stephen Miller, dan mantan Wakil Penasihat, Patrick Philbin.
Trump juga berharap untuk memblokir rilis White House Daily Diary, catatan aktivitas, perjalanan, pengarahan, dan panggilan teleponnya.
Dokumen lain yang Trump tidak ingin Kongres lihat, termasuk memo untuk mantan Sekretaris Persnya, Kayleigh McEnany, catatan tulisan tangan terkait peristiwa 6 Januari, dan draf teks pidatonya di rapat umum “Selamatkan Amerika”, yang mendahului serangan itu.
“Hari ini, Pengadilan sekali lagi menolak kampanye mantan presiden untuk menghalangi penyelidikan Kongres terhadap pemberontakan 6 Januari,” ucap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS dari Partai Demokrat, Nancy Pelosi dalam sebuah pernyataan setelah putusan.
“Tidak seorang pun dapat dibiarkan menghalangi kebenaran, terutama presiden sebelumnya yang menghasut pemberontakan,” pungkas Pelosi. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News