Hampir satu tahun sejak terjadinya kudeta militer di Myanmar, Bachelet mengatakan masyarakat di negara tersebut telah membayar harga mahal untuk semua nyawa yang telah melayang serta hilangnya kebebasan.
Ia mengatakan meski kecaman terhadap kudeta Myanmar hampir bersifat universal, ia menilai respons internasional sejauh ini cenderung "tidak efektif."
"Sudah saatnya untuk memperbarui upaya memulihkan HAM dan demokrasi di Myanmar, serta memastikan pelaku pelanggaran HAM diseret ke hadapan hukum," kata Bachelet, dilansir dari laman Al Jazeera, Sabtu, 29 Januari 2022.
Mantan presiden Chile itu mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB dan ASEAN belum cukup berbuat banyak dalam meyakinkan junta Myanmar untuk memfasilitasi akses kemanusiaan. Ia mengaku telah berbicara dengan beberapa tokoh pembela kebebasan sipil di Myanmar, yang meminta komunitas global untuk tidak mengabaikan mereka.
"Saya mendesak pemerintah-pemerintah di luar sana, baik di kawasan atau tempat lain, untuk mendengarkan jeritan mereka," tutur Bachelet.
Baca: Jokowi Menyesalkan Kekerasan di Myanmar Terus Terjadi
Militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari 2021 dengan menggulingkan pemerintahan sipil pemimpin de facto Aung San Suu Kyi. Junta Myanmar mengatakan, kudeta harus dilakukan karena pemilihan umum Myanmar di tahun 2020 dipenuhi kecurangan.
Sejak kudeta, Aung San Suu Kyi dijadikan tahanan rumah dan mendapat serangkaian dakwaan atas berbagai tuduhan kasus kriminal, termasuk kepemilikan ilegal walkie-talkie serta pelanggaran aturan Covid-19.
ASEAN telah menggelar pertemuan khusus terkait isu Myanmar, yang kemudian menghasilkan Lima Poin Konsensus. Walau junta Myanmar turut menyetujui konsensus tersebut, namun implementasinya belum juga terlihat hingga saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News