Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakannya dalam sebuah wawancara di program Meet the Press NBC, Minggu, 25 Februari.
“Kami tidak percaya bahwa sebuah operasi, sebuah operasi militer besar, harus dilakukan di Rafah kecuali ada rencana yang jelas dan dapat dilaksanakan untuk melindungi warga sipil, untuk membuat mereka aman dan memberi makan, pakaian dan rumah bagi mereka,” kata Sullivan, dikutip Malay Mail, Senin, 26 Februari 2024.
Sementara itu, pada Sabtu kemarin, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan pada Sabtu bahwa ia akan meminta persetujuan kabinet pekan depan untuk menjalankan operasi darat di kota Rafah di Gaza selatan, di mana lebih dari separuh warga Palestina mencari perlindungan dari pengeboman Israel di tempat lain.
Menulis di media sosial X, Netanyahu mengatakan dirinya akan mengadakan pertemuan kabinet di awal pekan mendatang untuk menyetujui "rencana operasional tindakan di Rafah, termasuk evakuasi penduduk sipil."
"Hanya kombinasi tekanan militer dan negosiasi tegas yang akan menghasilkan pembebasan sandera kami, eliminasi Hamas, dan tercapainya seluruh tujuan perang," tulisnya.
Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza, telah menjadi kamp pengungsi padat dengan sekitar 1,4 juta orang yang melarikan diri dari serangan Israel di wilayah utara.
PBB telah memperingatkan bahwa perpanjangan operasi militer Israel di Rafah akan menimbulkan "konsekuensi kemanusiaan yang mengerikan."
Masih di hari Sabtu, kabinet perang Israel menyetujui pengiriman negosiator ke Qatar untuk melanjutkan pembicaraan yang bertujuan mengamankan gencatan senjata dan pemulangan sandera yang ditahan di Gaza.
Pembicaraan gencatan senjata telah dimulai di Paris, di mana kepala dinas intelijen luar negeri Israel, Mossad, dan rekannya di dinas keamanan dalam negeri Shin Bet bertemu dengan mediator dari Amerika Serikat, Mesir dan Qatar.
Baca juga: PM Israel Minta Persetujuan Kabinet untuk Operasi Darat di Rafah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News