Joe Biden dan Donald Trump bertarung sengit dalam Pemilu Presiden AS 2020. Foto: AFP
Joe Biden dan Donald Trump bertarung sengit dalam Pemilu Presiden AS 2020. Foto: AFP

Kaleidoskop 2020

Drama Pilpres, Pemuncak Kisruh Politik AS di 2020

Marcheilla Ariesta • 31 Desember 2020 18:10
Jakarta: Salah satu momen di 2020 yang tidak bisa dilupakan adalah pemilihan presiden Amerika Serikat. Sejak tahun lalu, pilpres AS memang sudah ramai dibicarakan, terlebih ketika Presiden Donald Trump memutuskan untuk menjadi petahana.
 
Di awal tahun, sudah dipastikan Trump menjadi satu-satunya calon presiden dari Partai Republik. Namun berbeda dengan Partai Demokrat yang menaungi Joe Biden, rival Trump dalam pilpres kali ini.
 
Biden harus bersaing dengan beberapa nama besar, salah satunya Benny Sanders, untuk menjadi wakil Demokrat di pilpres kali ini. Setelah melewati berbagai kampanye dan pemilihan internal partai, akhirnya ia terpilih untuk menjadi penantang Trump.

Wakil presiden AS era Barack Obama ini jalannya tak selalu mulus. Banyak sekali penjegalan agar jalannya menuju panggung pemilihan presiden kandas, salah satunya dengan membawa kasus anaknya, Hunter Biden. Isu ini yang juga dipakai Trump untuk menjatuhkan Biden dalam kampanye presiden pada Oktober lalu.
 
Tak hanya Biden yang mendapat jegalan, Trump juga 'dihadang' berbagai masalah yang mempertanyakan kredibilitasnya sebagai presiden. Kepopulerannya sempat merosot kala ia dihadapkan dengan isu rasisme di pertengahan tahun ini. Protes Black Lives Matter menjadi salah satu 'batu sandungannya' untuk melaju ke periode kedua kepemimpinannya.
 
Tak hanya itu, ia sempat akan dimakzulkan di awal tahun. Beruntung ia selamat setelah Senat yang dikuasai oleh Partai Republik melakukan pemungutan suara, yang hasilnya 52 – 48 suara membebaskan Trump.
 
Penanganannya terhadap virus korona (covid-19) di Amerika Serikat juga menjadi hambatan. Bahkan, ia dilaporkan terinfeksi covid-19 beberapa hari usai debat perdana yang akhirnya berbuntut pada debat pilpres kedua dibatalkan.
 
Tiba pada hari pemilihan umum, Biden dan Trump menyerukan kepada warga AS untuk melakukan pemilihan, menggunakan hak suara mereka memilih presiden di masa mendatang. Hasil penghitungan cepat baru terlihat jelas hampir sepekan usai pemilihan dengan Biden sebagai pemenangnya.
 
Trump, yang sejak awal sudah bertekad tidak akan menerima hasil pilpres, mengajukan keberatannya. Ia mengatakan, "ada kecurangan besar dalam penghitungan suara ini." Ia mengerahkan kekuatannya untuk menggugat hasil pemilu di seluruh negara bagian yang 'seharusnya' menjadi basis kemenangan Republik, salah satunya di Pennsylvania.
 
Namun, sayangnya, Mahkamah Agung negara bagian menolak seluruh gugatan Trump. Menurut mereka, kemenangan Biden adalah murni, dan Trump kurang memiliki bukti.
 
Hingga kini, Trump masih keras kepala tidak mau menyerah pada teori bahwa ia dicurangi dalam pemilihan presiden 3 November lalu. Trump mengatakan tidak akan menyerah kepada Joe Biden, rivalnya yang terpilih menggantikannya di masa mendatang.
 
"Anda tidak bisa mengubah pikiran saya. Saya tidak akan berubah dalam enam bulan," tegasnya dalam wawancara dengan Fox News beberapa pekan lalu.
 
"Pemilu ini dicurangi. Pemilu ini adalah penipuan total. Kami memenangkan pemilihan dengan mudah," seru Trump.
 
Namun, Jaksa Agung Amerika Serikat, William Barr mengatakan Kementerian Kehakiman tidak menemukan bukti penipuan pemilih yang cukup signifikan untuk membalikkan kekalahan Presiden Donald Trump dari Demokrat Joe Biden dalam pemilihan 3 November. Komentar Barr cukup istimewa, karena selama ini Barr dianggap sebagai pengikut setia Trump.
 
Barr membuat komentar itu ketika kampanye Trump terus mencoba membuktikan ada penipuan di negara bagian utama Georgia, Michigan, Pennsylvania, dan di tempat lain, berharap untuk mencegah kemenangan Biden diumumkan secara resmi di Electoral College Vote atau suara elektoral pada 14 Desember.
 
Sama seperti Trump, para pendukungnya juga tidak mau mengakui kemenangan Biden. Hingga kini, mereka masih berdemo menuntut agar Trump tetap menjadi presiden untuk periode kedua. Mereka juga menganggap bahwa hasil pilpres dicurangi.
 
Pada Senin, 14 Desember, anggota Electoral College berkumpul di negara bagian masing-masing untuk meresmikan pemenang pemilihan umum presiden Amerika Serikat. Mereka bertemu untuk meresmikan hasilnya.
 
Hasil pemungutan suara pada 3 November lalu telah disertifikasi masing-masing electoral college dari 50 negara bagian dan District of Columbia. Dari hasil tersebut, Demokrat dinyatakan menang dengan rekor 81,3 juta suara atau 51,3 persen. Sementara Republik mendapatkan 46,8 persen suara.
 
Dari hasil Electoral College, Joe Biden mendapat 306 suara elektoral, sementara petahana Donald Trump hanya 232. Dengan hasil tersebut, maka Biden merupakan presiden ke-46 AS.
 
Biden yang didampingi Kamala Harris sebagai wakilnya akan dilantik pada 20 Januari 2021 mendatang. Kini keduanya tengah diberikan pembekalan untuk transisi, walaupun Trump masih belum mengakui kemenangan mereka.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan