"Setelah menghubungi dan menerima surat dari banyak negara anggota, sudah jelas bagi saya bahwa ada satu anggota yang memiliki posisi khusus dalam isu ini. Sementara banyak negara anggota memiliki beragam pandangan," ujar Dubes Djani, dilansir dari laman CGTN, Rabu 26 Agustus 2020.
"Dalam pandangan saya, tidak ada konsensus di dewan. Oleh karenanya, presiden (DK PBB) tidak berada dalam posisi untuk mengambil langkah selanjutnya," sambung dia.
Pekan kemarin, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan bahwa negaranya memiliki hak untuk "mengembalikan" sanksi PBB meski Presiden Donald Trump sudah menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 yang dibuat antara Iran dan enam negara besar.
Pompeo menekankan kembali seruan memulihkan sanksi Iran dalam sebuah tulisan di Twitter saat dirinya mengunjungi Israel.
"Sebagai tambahan dalam melanjutkan embargo senjata PBB, sanksi PBB yang kami pulihkan kembali terhadap Iran juga akan memunculkan kembali akuntabilitas atas berbagai aktivitas buruk Iran," ucap Pompeo.
Sebelumnya, beberapa anggota DK PBB menolak langkah AS tersebut. Dalam cuitan di Twitter, Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB, Dmitry Polyansky mengutuk langkah AS.
Secara terpisah, tiga negara Eropa juga menolak langkah tersebut. Mereka menekankan dukungan berkelanjutan untuk kesepakatan nuklir, yang juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
"Prancis, Jerman dan Inggris mencatat bahwa AS keluar dari JCPOA setelah menarik diri pada 8 Mei 2018," kata kelompok Eropa itu.
"Karena itu, kami tidak dapat mendukung tindakan ini yang tidak sesuai dengan upaya kami mendukung JCPOA," sambung mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News