"Pertama, AS memikirkan kemaslahatan dunia ketimbang dirinya sendiri," kata Guru Besar Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Minggu, 8 November 2020.
Menurut Hikmahanto, Presiden ke 43 AS, Barrack Obama, menjadikan Amerika sebagai negara adidaya yang mensejahterakan dunia. Langkah itu ditempuh supaya Negeri Paman Sam sejahtera. Namun sikap politik itu diubah Trump.
"Pada era Trump nilai tersebut ditinggalkan dan lebih fokus untuk membangun AS dengan mengabaikan dunia, bahkan, berkonflik secara head to head dengan sejumlah negara," kata dia.
Prioritas kedua, tidak ada lagi kejutan kejutan kebijakan oleh AS. Belajar dari kepemimpinan Trump, banyak kebijakan yang membuat masyarakat Internasional keheranan.
Misalnya, kata dia, pertemuan Trump dengan Kim Jong Un dari Korea Utara. Selain itu keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, dan kebijakan lain.
"Bahkan mengakhiri secara sepihak hasil perundingan Iran dengan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB terkait pengembangan nuklir Iran," kata Hikmahanto.
Ketiga, Biden diharapkan menjalankan kebijakan-kebijakan luar negeri AS. Sikap politik itu telah dirancang lama dan rinci oleh para birokrat AS.
Hikmahanto menyebut sistem pemerintahan AS menganut dua pengelola kebijakan, yakni politisi dan birokrasi. Politisi memegang keputusan akhir, sementara birokrasi yang menjaga agar kebijakan AS dari waktu ke waktu terjaga.
Baca: Pemimpin Dunia Hujani Ucapan Selamat pada Biden-Harris
"Politisi secara alamiah akan keluar dan masuk (come and go) empat tahun sekali, namun birokrasi akan tetap mengingat tongkat estafet kebijakan akan terus diturunkan kepada para penggantinya," kata Hikmahanto.
Dia menyebut di era Trump, kerap terjadi perlawanan terhadap kebijakan yang telah dirancang para birokrat. Perlawanan dilakukan melalui tweet dan juga langsung mengganti birokrat yang tidak sepemahaman dengan Trump.
Hikmahanto menilai masyarakat global berharap Biden lebih banyak mendengar dan memutus berbagai kebijakan yang telah dirancang secara rinci oleh birokrasi AS selama bertahun-tahun.
Prioritas terakhir, kata Hikmahanto, AS tidak lagi menjadi sumber inspirasi untuk membangkitkan ekstrem kanan dan supremasi kulit putih. Seperti pada era Trump.
"AS di bawah Biden diharapkan mengembalikan nilai-nilai untuk menghormati pluralisme, hak asasi manusia, dan tidak merendahkan suatu bangsa dengan peradabannya," kata Hikmahanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News