Dubes RI untuk Swiss dan Liechtenstein, Muliaman Hadad dan Kadin Indonesia saat bertemu dengan mantan Presiden Swiss Guy Parmelin pada 2021. Foto: KBRI Bern
Dubes RI untuk Swiss dan Liechtenstein, Muliaman Hadad dan Kadin Indonesia saat bertemu dengan mantan Presiden Swiss Guy Parmelin pada 2021. Foto: KBRI Bern

Perdagangan Indonesia-Swiss Surplus Hingga Rp19,1 Triliun di 2021

Marcheilla Ariesta • 04 Februari 2022 17:46
Bern: Indonesia masih berhasil mencatat surplus perdagangan dengan Swiss. Pencapaian ini diraih di tengah pandemi covid-19 yang tak kunjung usai. 
 
Kinerja perdagangan Indonesia konsisten mengalami penguatan dan menunjukkan surplus pada periode Januari-Desember 2021, dengan total surplus USD1,34 miliar (setara Rp19,11 triliun). 
 
Namun, jika dibandingkan dengan surplus  2020,  angkanya menurun hampir 60 persen. Pada 2020, surplus neraca perdagangan Indonesia ke Swiss mencapai USD2,24 miliar.  

Penurunan tersebut terjadi karena penurunan ekspor emas, logam mulia, perhiasan atau permata (HS 71) sebesar 50,7 persen di 2021. 
 
Menurut data yang diterbitkan oleh Federal Customs Administration (FCA), nilai impor Indonesia dari Swiss pada tahun 2021 menurun 31,4 persen dibandingkan 2020. Demikian juga ekspor Indonesia ke Swiss mengalami penurunan sebesar minus 38,7 persen. 
 
Nilai impor Indonesia dari Swiss di  2021 sebesar USD360,29 juta. Sedangkan nilai ekspor Indonesia ke Swiss pada  2021 tercatat sebesar USD1,69 miliar. 
 
Pada 2020, nilai impor Indonesia dari Swiss sebesar USD525,08 juta, dan nilai ekspor Indonesia ke Swiss sebesar USD2,76  miliar.  
 
Sebanyak 10 komoditas yang masih konsisten berkontribusi terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia ke Swiss, berdasarkan urutan nilai ekspornya antara lain logam mulia, perhiasan permata, alas kaki, produk tekstil bukan rajutan, produk tekstil rajutan, perlengkapan elektrik, furnitur, kopi, minyak atsiri, mesin turbin dan suku cadang, serta kimia organik. 
 
Pada 2021, perekonomian Swiss mengalami ketidakpastian yang cukup tinggi, mulai dari masalah rantai pasok sampai pada isu kesehatan, khususnya meningkatnya varian baru Covid-19, Omicron. 
 
Kementerian Ekonomi Swiss (SECO) menyampaikan, pada 2021, Swiss mengalami inflasi 0.6 persen, meski performa perekonomian Swiss masih relatif baik, yakni pertumbuhan GDP sebesar 3,5 persen di 2021. 
 
SECO memperkirakan GDP (Produk Domestik Bruto) Swiss pada tahun 2022 akan mencapai 3 persen. Pertumbuhan ini diprediksi akan banyak dipengaruhi oleh masalah rantai pasok, tekanan inflasi, varian Omicron, penguatan mata uang Swiss Franc (CHF) dan persaingan ketat yang dihadapi industri farmasi dan perbankan. 
 
Walaupun dihadapkan oleh tantangan yang tidak kecil, Dubes RI untuk Swiss dan Liechtenstein, Muliaman Hadad, memperkirakan di 2022, tetap akan memberikan gambaran positif bagi hubungan ekonomi kedua negara. 
 
“Proyeksi tersebut bukan tanpa alasan mengingat modalitas untuk peningkatan hubungan ekonomi kedua negara telah ada yakni dengan telah berlakunya Indonesia-EFTA CEPA pada 1 November 2021," ujar Dubes Muliaman, dikutip dari keterangan KBRI Bern, Jumat, 4 Februari 2022. 
 
Indonesia-EFTA CEPA tidak hanya mencakup sektor perdagangan, namun juga sustainability, capacity building, knowledge transfer dan investasi. 
 
Data BKPM, pada periode Januari - Desember 2021, Swiss masih bertahan di urutan ke-2 negara dari benua Eropa dan ke-10 dari semua negara yang berinvestasi di Indonesia. Jumlah proyek telah mencapai 281 proyek dengan nilai investasi sebesar USD599,8 juta pada periode Januari-Desember 2021. 
 
Muliaman menambahkan, berlakunya Indonesia – EFTA CEPA pada akhir tahun lalu akan menuntut semua pihak terkait di Indonesia untuk segera menyiapkan langkah-langkah agar dapat mengoptimalkan manfaat dari perjanjian tersebut. 
 
Mulai 2022, perusahaan besar di Swiss diwajibkan untuk melaporkan isu-isu terkait sosial dan lingkungan. Mulai tahun 2023, perusahaan di sektor berisiko tinggi seperti pertambangan juga akan diwajibkan melakukan due diligence terkait isu lingkungan, child labour dan kegiatan mining yang bersumber dari daerah konflik. 
 
“Perkembangan tersebut perlu mendapat perhatian dari pelaku bisnis di Indonesia”, pungkas Muliaman. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan