Salah satu rekomendasi dalam laporan PBB itu adalah seruan membebaskan semua orang yang dirampas kebebasannya secara sewenang-wenang di provinsi Xinjiang.
Duta Besar Kanada untuk PBB, Bob Rae, membaca pernyataan itu pada pertemuan komite hak asasi manusia Majelis Umum yang mengungkapkan keprihatinan besar atas situasi HAM di Tiongkok, termasuk seputar isu Uighur dan etnis lainnya. .
Sejumlah kelompok HAM telah menuduh Tiongkok 'menyapu bersih' satu juta lebih orang dari kelompok minoritas ke kamp-kamp penahanan, di mana banyak dari mereka mengaku disiksa, diserang secara seksual, dan dipaksa meninggalkan bahasa serta agama mereka.
Kamp-kamp itu hanyalah salah satu bagian dari apa yang disebut organisasi HAM sebagai kampanye kejam melawan ekstremisme di Xinjiang yang juga mencakup kebijakan pengendalian kelahiran dan pembatasan menyeluruh terhadap pergerakan orang-orang tersebut.
Penilaian dari kantor HAM PBB yang berbasis di Jenewa tersebut dirilis pada menit terakhir pada masa jabatan empat tahun milik Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet pada 31 Agustus. Hal ini menguatkan sebagian besar laporan yang sebelumnya dilakukan oleh para peneliti, kelompok advokasi dan media.
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran HAM serius di bawah kebijakan anti-terorisme dan anti-ekstremisme, sehingga membutuhkan 'perhatian mendesak' dari PBB, komunitas dunia dan Tiongkok itu sendiri.
Pernyataan dari 50 negara menyebut laporan itu sebagai penilaian independen "yang dibuat dari catatan-catatan milik Tiongkok," yang memberikan "kontribusi penting terhadap bukti pelanggaran HAM serius dan sistematis di Negeri Tirai Bambu."
Mengingat beratnya penilaian laporan tersebut, ke-50 negara menyatakan keprihatinan mereka terhadap Tiongkok yang sejauh ini menolak membahas temuan dan menerapkan rekomendasi-rekomendasi yang ada.
Selain menyerukan pemenuhan rekomendasi untuk membebaskan semua orang yang ditahan secara sewenang-wenang, 50 negara juga mendesak Tiongkok untuk mengklarifikasi nasib dan keberadaan anggota keluarga yang hilang serta mengatur kontak dan reuni yang aman.
"Semakin banyak negara anggota PBB yang menekan perlakuan Tiongkok terhadap Uighur," ujar Proyek Hak Asasi Manusia Uyghur menanggapi pernyataan tersebut via Twitter, seperti dikutip dari laman Hindustan Times, Selasa, 1 November 2022.
Motif Politik?
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris, James Cleverly menuliskan di Twitter bahwa pernyataan tersebut didukung hingga 50 negara di 6 benua yang menunjukkan semakin luasnya perhatian internasional.Sebanyak 50 negara yang menandatangani pernyataan tersebut di antaranya adalah, Albania, Andorra, Albania, Andorra, Australia, Austria, Belgia, Belize, Bulgaria, Kanada, Republik Ceko, Kroasia, Denmark, Estonia, Eswatini, Finlandia, Prancis, Jerman, Guatemala, Islandia, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Latvia, Liberia, Liechtenstein, Lithuania, Luksemburg, Kepulauan Marshall, Monako, Montenegro, Nauru, Belanda, Selandia Baru, Makedonia Utara, Norwegia, Palau, Polandia, Portugal, Rumania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Somalia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Inggris, dan Amerika Serikat.
Pekan lalu, AS, Inggris, dan negara lainnya mengadakan pertemuan untuk menindaklanjuti laporan mantan komisaris tinggi yang mencakup duta besar PBB, pembela hak asasi manusia Uighur, penyelidik khusus PBB untuk hak-hak minoritas dan Lembaga Hak Asasi Manusia.
Menyikapi pertemuan tersebut, utusan Tiongkok di PBB mengirim surat kepada semua negara anggota PBB yang berisi "penentangan tegas" terhadap pertemuan tersebut dan merekomendasikan agar mereka semua memboikot sikap 'anti-Tiongkok' tersebut.
"Ini adalah peristiwa bermotif politik. Para sponsor menggunakan masalah hak asasi manusia sebagai alat politik untuk ikut campur dalam urusan internal Tiongkok seperti Xinjiang, untuk menciptakan perpecahan dan turbulensi dan mengganggu pembangunan Tiongkok," ujar surat tersebut.
Tidak hanya itu, surat Tiongkok juga menilai acara tersebut sebagai propaganda disinformasi, dan menuduh para sponsor telah melanggar tujuan serta prinsip Piagam PBB dan norma-norma hubungan internasional. (Gabriella Carissa Maharani Prahyta)
Baca: Tolak Debat Xinjiang, Indonesia Tidak Ingin Ada Politisasi Dewan HAM PBB
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News