Unjuk rasa berskala masif di Belarusia berlangsung usai petahana Alexander Lukashenko dinyatakan menang dalam pilpres pada Minggu 9 Agustus. Namun demonstrasi ini direspons tindakan represif oleh pasukan keamanan Belarusia.
Lukashenko telah berkuasa di Belarusia sejak 1994, dan kemenangannya kali ini dipandang kubu oposisi sarat kecurangan. Amerika Serikat dan Uni Eropa mengecam pilpres di Belarusia yang berjalan tanpa adanya pengawasan memadai.
Berdasarkan laporan di situs UN News, Sabtu 15 Agustus 2020, Guterres mengatakan bahwa semua warga Belarusia harus diizinkan untuk mengekspresikan pandangan mereka "sesuai aturan hukum." Tidak hanya itu, ia juga meminta otoritas Belarusia untuk "menahan diri dalam merespons demonstrasi."
Guterres menyerukan adanya investigasi mendalam mengenai "dugaan terjadinya penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya" yang dialami sejumlah tahanan pemerintah.
Akhir kata, Guterres menyerukan kepada semua warga Belarusia untuk "menangani masalah pascapilpres melalui dialog demi menjaga perdamaian di seantero negeri."
Sepanjang pekan ini, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengecam otorits Belarusia karena melakukan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Jumat kemarin, lima pakar independen HAM PBB mengkritik tajam level kekerasan yang digunakan pasukan keamanan Belarusia terhadap demonstran dan jurnalis.
Sementara pada Rabu lalu, Kepala HAM PBB Michelle Bachelet mengutuk kekerasan yang dilakukan otoritas (Belarusia). Ia mengingatkan Belarusia bahwa "penggunaan kekerasan selama aksi protes seharusnya hanya dilakukan sebagai cara terakhir."
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News