Ribuan demonstran awalnya berunjuk rasa secara damai selama dua jam di dekat sebuah gedung pengadilan di Paris pada Selasa 2 Juni. Mereka geram atas aksi rasisme yang dinilai telah menewaskan banyak orang kulit hitam, termasuk Floyd dan Traore.
Dikutip dari TRT World, Rabu 3 Juni 2020, Kepolisian Prancis melarang aksi protes tersebut, karena aturan di tengah pandemi virus korona (covid-19) melarang adanya perkumpulan massa yang melebihi 10 orang.
Untuk membubarkan massa, polisi menembakkan gas air mata di beberapa titik di Paris. Demonstran terlihat berusaha meredam asap dari tabung gas air mata dengan sejumlah benda yang ada di jalan.
Dua api berkobar di lokasi unjuk rasa, dan beberapa pagar penghalang di sebuah situs konstruksi ditumbangkan pedemo. Ketegangan antara aparat keamanan dan demonstran juga terjadi di kota Marseille.
Sementara itu di Australia, ribuan orang berunjuk rasa mengecam kematian Floyd di kota Sydney. Mereka berjalan bersama sembari berteriak "saya tidak bisa bernapas" -- kata-kata terakhir Floyd saat lehernya ditindih lutut seorang polisi bernama Derek Chauvin di Minneapolis pada Senin 25 Mei.
Dunia diplomatik juga turut merespons kematian Floyd. Seorang pejabat senior Uni Eropa menegaskan bahwa UE "terkejut dan tertegun" atas kematian Floyd.
"Saat Anda menolak menangani masalah rasisme, maka dapat berujung seperti apa yang saat ini sedang terjadi di Amerika Serikat," kata Dominique Sopo, kepala grup SOS Racisme.
"Kasus George Floyd menyuarakan apa yang kami takutkan di Prancis," sambung dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News