Inisiatif melawan ekstremisme daring ini diwacanakan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern dan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 2019.
Namun pemerintahan AS di tahun itu yang masih dipimpin Donald Trump menolak bergabung dengan alasan kebebasan berbicara.
Dalam sebuah pernyataan resmi pada Jumat kemarin, juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan bahwa AS akan bergabung dengan inisiatif Selandia Baru bertajuk "Christchurch Call to Action to Eliminate Terrorist and Violent Extremist Content Online."
Gerakan global ini merupakan sebuah perjanjian antara negara-negara dunia dan semua perusahaan teknologi besar dengan tujuan utama membuat internet menjadi tempat yang lebih aman bagi semua orang.
Baca: Penembak Masjid Selandia Baru Ditantang Cicipi Keragaman di Penjara
"Melawan penggunaan internet oleh teroris dan ekstremis untuk meradikalisasi dan merekrut orang-orang adalah prioritas signifikan Amerika Serikat," tutur Psaki, dilansir dari laman DW pada Sabtu, 8 Mei 2021.
"(Kami) bergabung dengan koalisi negara-negara dan perusahaan yang telah mendukung Christchurch Call to Action memperkuat perlunya aksi kolektif," sambung dia.
PM Ardern mengatakan, AS telah menjadi mitra "konstruktif" dalam hal-hal terkait Christchurch Call of Action. Pengumuman dari Gedung Putih, lanjut PM Ardern, adalah "formalisasi dari hubungan serta komitmen kita bersama."
Psaki menegaskan bahwa dukungan AS terhadap inisiatif Selandia Baru ini tidak akan "melanggar kebebasan berbicara dan berasosiasi yang dilindungi Amandemen Pertama Konstitusi AS."
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News