Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto (kiri) bersama Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni (tengah) hadir dalam sebuah acara di Roma, 4 November 2022. (Andreas SOLARO / AFP)
Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto (kiri) bersama Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni (tengah) hadir dalam sebuah acara di Roma, 4 November 2022. (Andreas SOLARO / AFP)

Setelah Jerman, Kini Italia Coba Tinggalkan Belt and Road Tiongkok

Willy Haryono • 16 Agustus 2023 13:28
Roma: Setelah Jerman, Italia kini memutuskan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. Pernyataan terbaru Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto tentang Inisiatif Belt and Road (BRI) yang ambisius merupakan cerminan dari meningkatnya rasa frustrasi dengan janji inisiatif yang tidak terpenuhi dan penilaian ulang strategis Italia terhadap Tiongkok
 
Seperti dikutip dari BBC, belum lama ini, Crosetto menggambarkan keputusan Italia terhadap Belt and Road sebagai keputusan yang buruk. Menurut Croseto, inisiatif itu tidak berbuat banyak dalam meningkatkan ekspor Italia, dan hanya akan menjadikan Tiongkok sebagai satu-satunya pemenang. Cresto adalah bagian dari tim yang menyusun strategi untuk keluar dari inisiatif Belt and Road.
 
Keputusan Italia tentang Belt and Road datang hampir sebulan setelah Jerman mengadopsi strategi nasional pertamanya atas isu China, yang mendefinisikan negara adidaya Asia tersebut sebagai "mitra, pesaing, dan saingan sistemik." Berlin pun menyerukan pengurangan ketergantungan yang signifikan pada barang-barang Tiongkok, sambil tetap mempertahankan ikatan ekonomi bernilai ratusan miliar dolar.

Kementerian luar negeri Tiongkok telah mengecam adanya "sejumlah kekuatan" yang mencoba "mempolitisasi" pertukaran budaya dan ekonomi antara Tiongkok dan Italia melalui Belt and Road. Berdasarkan perjanjian BRI, Tiongkok dan Italia dapat mengakhiri kesepakatan setelah lima tahun. Jika tidak, kemitraan akan diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun lagi.
 
Italia memiliki waktu hingga akhir 2023 untuk memberi tahu Tiongkok apakah ingin mengakhiri kesepakatan.
 
Perjanjian Belt and Road antara Tiongkok dan Italia ditandatangani pada 2019, ketika Presiden Xi Jinping mengunjungi Roma. Italia yang telah mengalami tiga resesi dalam satu dekade, ingin menarik investasi dan memperluas akses ekspor Italia ke pasar besar Tiongkok.
 
Dengan tidak adanya dukungan yang cukup dari Eropa, pemerintah populisnya memandang Tiongkok sebagai negara yang lebih bersedia membantu.
 
Tiongkok punya alasan tersendiri untuk mengandalkan Italia yang merupakan negara industri besar pertama di dunia. Negara itu berfungsi sebagai terminal utama di era Jalur Sutra kuno, dan penyertaan Italia di Belt and Road dapat membantu Xi menghubungkan inisiatif kebijakan luar negeri khasnya dengan era keemasan kemakmuran dan pengaruh Tiongkok.

Titik Lemah

Selain itu, Italia adalah rumah bagi populasi Tionghoa terbesar di Eropa. Italia dan Tiongkok juga memiliki hubungan perdagangan yang mendalam dalam produksi kain, barang kulit, dan berbagai produk lainnya.
 
Namun, Tiongkok ingin meningkatkan pengaruhnya di Eropa, mendorong perpecahan di Uni Eropa, dan menabur perpecahan antara Washington dan Brussel. Tiongkok memandang Italia sebagai 'titik lemah' yang dapat ditekan.
 
Tetapi Italia segera menyadari bahwa Belt and Road tidak akan memenuhi harapan dan ekspektasi Roma. Menurut sejumlah laporan berita, Sejak Italia bergabung dengan Belt and Road, ekspornya ke Tiongkok telah meningkat dari 14,5 miliar euro menjadi 18,5 miliar euro. Sedangkan ekspor Tiongkok ke Italia tumbuh jauh lebih dramatis, dari 33,5 miliar euro menjadi 50,9 miliar euro.
 
Kendati begitu, pengaturan kelembagaan dengan China, yang mencakup segala sesuatu mulai dari pajak berganda hingga pengakuan persyaratan sanitasi tertentu untuk ekspor daging babi, properti budaya dan situs warisan, dan juga perjanjian komersial berskala kecil, gagal mengubah lintasan dari hubungan ekonomi Italia-Tiongkok secara fundamental.
 
Sejumlah laporan berita juga menunjukkan bahwa Tiongkok menginvestasikan 24 miliar dolar AS di Italia sejak 2005, tetapi hanya 1,83 miliar dolar yang dibuat setelah Italia memutuskan bergabung dengan Belt and Road. Pengalaman Italia menunjukkan bahwa bergabung dengan Belt and Road tidak serta merta menjadi suatu negara memiliki status khusus dengan Tiongkok, atau memberikan jaminan adanya lebih banyak aktivitas perdagangan atau investasi.
 
Kurangnya kemauan politik untuk melanjutkan proyek Belt and Road selain kekhawatiran global adalah salah satu dari banyak alasan di balik perubahan hati Italia. Misalnya, pemimpin Nasionalis Giorgia Meloni dengan jelas mengumumkan pilihannya sebelum pemilu tahun lalu.
 
Pada Agustus 2022, Meloni mengatakan bahwa Italia tidak akan membatasi ekspansi ekonomi Tiongkok, dan akan terus mendukung Ukraina secara militer jika aliansi sayap kanan memenangkan pemilu.
 
Meloni juga mengatakan bahwa di bawah kepemimpinannya, Italia tidak akan menjadi "mata rantai yang lemah" dalam aliansi Barat. Pada 2022 dan sebelum terpilih, Meloni mengatakan bahwa bergabung dengan Belt and Road adalah suatu "kesalahan besar."
 
Ketika eks Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi mengambil alih kekuasaan di Roma pada 2021, dia membekukan perjanjian tersebut.
 
Tidak mudah bagi Meloni untuk mengambil sikap melawan Tiongkok di saat dirinya memimpin koalisi dengan dua partai sayap kanan lain: Lega dan Forza Italia. Dalam perseteruan kekuatan global, Meloni memihak Amerika Serikat.
 
Baca juga:  G7 Kumpulkan USD600 Miliar untuk Lawan Belt and Road Milik Tiongkok, Ini Rinciannya

Sikap Bersatu Uni Eropa

Sikap kritis Italia terhadap Belt and Road datang ketika beberapa negara, termasuk Sri Lanka, telah mengalami konsekuensi dari partisipasinya dalam proyek infrastruktur Tiongkok.
 
Sementara itu, para analis mengatakan bahwa kemungkinan penarikan Italia dari Belt and Road akan mencerminkan konvergensi transatlantik yang tumbuh pada tantangan yang ditimbulkan Tiongkok.
 
Negara-negara Eropa semakin memandang Tiongkok sebagai saingan ketimbang mitra atau pesaing, sementara Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen baru-baru ini berpendapat bahwa "tujuan jelas Partai Komunis Tiongkok adalah perubahan sistemik tatanan internasional dengan Tiongkok sebagai pusatnya." Ia menunjuk Belt and Road sebagai bukti dari pernyataannya tersebut.
 
Dukungan Beijing untuk Rusia dalam perang melawan Ukraina telah membuat banyak pemerintah Eropa, termasuk Italia, melepaskan ilusi mereka tentang Tiongkok. Negara-negara Eropa Tengah dan Timur, yang secara tradisional mencari hubungan lebih dekat dengan Tiongkok melalui mekanisme kerja sama "17+1," juga telah melakukan perubahan ini.
 
Keputusan Italia datang di saat Uni Eropa mulai membingkai hubungan baru dengan Tiongkok. Blok ini merasa semakin sulit untuk bersatu dalam menyikapi Beijing, dengan beberapa negara mendukung hubungan ekonomi, sedangkan sebagian lain mendorong pendekatan yang lebih kritis.
 
Tetapi bagi banyak pemerintah Eropa, Tiongkok dapat dan harus berbuat lebih banyak untuk mendukung Ukraina setelah invasi Rusia.
 
Tiongkok telah gagal mengutuk serangan Rusia terhadap tetangganya, dan dalam kunjungan ke Moskow pada Maret lalu, Xi Jinping merujuk pada mitranya dari Rusia sebagai sahabat baik.
 
Selain itu, Tiongkok telah mengusulkan 12 poin rencana perdamaian untuk perang Ukraina. Rencana tersebut tidak menyebutkan apakah Rusia perlu meninggalkan wilayah Ukraina agar sebuah kesepakatan damai dapat terwujud.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan