Dilansir dari The Straits Times, Senin, 22 November 2021, para sandera termasuk di antara 17 orang yang diculik oleh geng terkenal Haiti pada 16 Oktober, saat mereka mengunjungi panti asuhan di luar ibu kota, Port-au-Prince.
Dalam pengumuman terhadap dua dari mereka telah dibebaskan, Christian Aid Ministries (CAM) yang berbasis di Ohio mendesak kebijaksanaan untuk melindungi mereka yang masih berada di tangan anggota geng.
Baca: Tebusan Tak Dipenuhi, Geng Haiti Ancam Bunuh 17 Misionaris yang Diculik.
Dikutip dari New York Times, Selasa, 2 November 2021, CAM merupakan sebuah organisasi yang mendistribusikan makanan dan pakaian, mendanai sekolah, mengajarkan metode bertani, serta memberikan bantuan darurat.
“Kami tidak dapat memberikan atau mengonfirmasi nama mereka yang dibebaskan, alasan pembebasan mereka, dari mana mereka berasal atau lokasi mereka saat ini,” kata CAM.
“Kami meminta mereka yang memiliki informasi lebih spesifik tentang pembebasan itu dan individu yang terlibat untuk menjaga informasi itu,” tambah organisasi itu.
Juru Bicara Kepolisian Haiti, Gary Desrosiers membenarkan, dua sandera telah dibebaskan pada Minggu.
Kelompok tersebut, yang mencakup 16 warga AS dan satu warga Kanada telah bekerja dengan CAM, sebelum diculik oleh salah satu geng paling menakutkan di Haiti. Mereka terkenal karena mengatur penculikan massal.
Awalnya, geng tersebut menuntut uang tebusan sebesar Rp14,2 miliar per orang. Hal ini dipandang secara luas sebagai awal negosiasi yang biasa terjadi dalam penculikan di Haiti. Hingga kini, tidak jelas berapa banyak uang yang dibayarkan.
Penculikan massal diketahui menyandera lebih dari selusin warga AS, termasuk lima anak. Memicu kehebohan internasional, anggota parlemen AS pun mengutuk kekerasan di Haiti, serta Biro Investigasi Federal (FBI) dan Departemen Luar Negeri AS bekerja sama dengan otoritas lokal guna membebaskan para misionaris.
Penculikan massal telah menjadi hal biasa di Haiti, namun penculikan yang berani di siang hari tersebut, bahkan mengejutkan pejabat lokal dan penduduk, memberikan tanda lebih lanjut dari pelanggaran hukum yang berkembang di Haiti.
Keamanan Haiti disebut telah rusak setelah berbagai bencana alam dan krisis politik, termasuk pembunuhan Presiden Haiti, Jovenel Moise pada Juli lalu. Kekerasan telah menguasai sebagian besar Port-au-Prince. Sejumlah geng kuat diperkirakan tengah menguasai setengah dari kota.
Geng yang dipersenjatai dan seringkali dengan dukungan politik, telah lama menjadi bagian dari tatanan sosial Haiti. Namun setelah pembunuhan Moise, mereka menjadi lebih tegas dan mengambil kendali atas sejumlah petak wilayah.
Pada Agustus lalu, gempa berkekuatan 7,2 skala richter (SR) diketahui memperdalam kehancuran negara. Bahkan, belum pulih dari gempa 2010, yang menewaskan lebih dari dua ratus ribu orang.
Awalnya, upaya penyelamatan musim panas ini terhambat oleh masalah keamanan. Bantuan mengalir dengan bebas, hanya setelah geng yang menguasai jalan raya yang menghubungkan semenanjung selatan ke seluruh Haiti menyatakan gencatan senjata. Badai hebat dilaporkan menyusul beberapa hari kemudian.
Akhir-akhir ini, kekerasan geng yang melonjak telah memicu protes damai dengan berbagai kelompok di kota-kota besar dan kecil menuntut tanggapan pemerintah. Beberapa jalan diblokade dan membakar ban, simbol protes umum di Haiti. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News