Senin kemarin, Pasukan Nasional Libya (LNA) di bawah kepemimpinan Haftar mengaku telah masuk ke Sirte dan menguasai sebagian besar wilayah di kota tersebut.
"Pejuang kami menguasai semua distrik di sekelilingi kota (Sirte)," kata Khaled al-Mahjoub, juru bicara LNA, dikutip dari Al Jazeera, Selasa 7 Januari 2020. Salah satu area yang berhasil dikuasai adalah pangkalan udara Qardabiya.
Pemerintahan resmi Libya atau GNA membantah klaim tersebut di hari yang sama. Namun satu hari setelahnya, Pasukan Perlindungan Sirte yang merupakan sekutu GNA, mengaku sudah mundur dari kota tersebut.
"Setelah mempertimbangkan situasi di lapangan, pasukan kami memutuskan mundur dari Sirte untuk menanti arahan lebih lanjut," ujar pernyataan resmi Pasukan Perlindungan Sirte.
"Pasukan kami masih tetap kuat, dan langkah mundur dari Sirte bukanlah sebuah akhir," lanjutnya.
Jubir Pasukan Perlindungan Sirte juga mengaku mundur demi melindungi warga sipil dan kelompok pejuang muda di Sirte. Ia menyebut LNA berhasil merebut Sirte karena mendapat bantuan dari "sel-sel tidur" di kota berpopulasi 120 ribu orang tersebut.
Selain itu, sang jubir juga menuduh para milisi LNA telah membakar dan menjarah sejumlah rumah usai memasuki Sirte pada Senin kemarin. LNA membantah tudingan tersebut.
"Kami tidak melakukan semua itu. Justru pada kenyataannya, kami disambut gembira," tutur jubir LNA.
Menguasai Sirte akan menjadi suatu keuntungan besar bagi LNA, yang sejak April tahun lalu melancarkan operasi untuk merebut ibu kota Libya, Tripoli.
Kota Sirte berlokasi di antara markas LNA dan juga GNA. Sirte juga berada dekat dengan wilayah Crescent yang dikenal kaya akan sumber daya minyak.
Libya telah dilanda gelombang kekerasan sejak diktator Muammad Gaddafi digulingkan dan dibunuh pada 2011 oleh pasukan yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Negara tersebut memiliki dua pemerintahan, yakni GNA di Tripoli dan yang dipimpin Haftar di kota Tobruk.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News