Pasukan LNA memamerkan rudal yang disita dari pasukan Jenderal Khalifa Haftar. Foto: AFP
Pasukan LNA memamerkan rudal yang disita dari pasukan Jenderal Khalifa Haftar. Foto: AFP

Picu Kekacauan, Tentara Bayaran Datang ke Libya

Arpan Rahman • 25 Desember 2019 14:08
Tripoli: Gelombang tentara bayaran baru dari Sudan bertempur di Libya, menambah kekhawatiran bahwa konflik di negara Afrika utara itu. Dikhawatirkan konflik telah berubah menjadi perang internasional tidak kunjung berakhir yang dapat mengguncang banyak daerah.
 
Para pemimpin dua kelompok bertikai asal Sudan yang aktif di Libya mengatakan kepada Guardian bahwa mereka telah menerima ratusan rekrutan baru dalam beberapa bulan terakhir. Kedua kelompok itu bertempur dengan Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin oleh Jenderal Khalifa Haftar melawan pemerintah yang diakui secara internasional di Tripoli.
 
"Banyak pria muda datang, kami bahkan tidak memiliki kapasitas untuk mengakomodasi jumlah besar ini," kata seorang komandan yang berbasis di selatan Libya.

Para komandan mengatakan bahwa setidaknya ada 3.000 tentara bayaran Sudan sekarang berperang di Libya, jauh lebih banyak dari perkiraan sebelumnya.
 
Awal bulan ini, PBB mengatakan gangguan gerilyawan dari Sudan di Libya adalah ancaman langsung terhadap keamanan negara yang dilanda perang. Panel ahli PBB mengatakan dalam laporan kepada dewan keamanan bahwa kehadiran orang-orang Sudan semakin ditandai pada 2019 dan dapat menyebabkan ketidakstabilan lebih lanjut.
 
Libya berada dalam kekacauan sejak perang saudara pada 2011 menggulingkan Muammar Khadafi, yang kemudian terbunuh. Menyusul kekacauan yang terjadi kemudian, negara itu terpecah. Pemerintahan didukung PBB yang lemah di Tripoli menguasai wilayah barat negara itu dan pemerintahan tandingan di timur disejajarkan dengan LNA Hafter, masing-masing didukung oleh sejumlah milisi dan pemerintah asing.
 
Hafter meluncurkan serangan militer kejutan pada April. Tujuannya untuk menguasai Tripoli tetapi serangan itu terhenti, membuat kedua belah pihak saling menembaki satu sama lain di sepanjang sisi selatan kota dengan senjata yang semakin canggih.
 
Awal bulan ini Hafter, 76, mengatakan bahwa pasukannya sedang mempersiapkan ‘pertempuran yang menentukan’ guna mengambil kendali penuh atas kota.
 
Sementara LNA dan pemerintah timur menikmati dukungan dari Prancis, Rusia, Yordania, Uni Emirat Arab, dan negara-negara kunci Arab lainnya. Pemerintah berbasis Tripoli didukung oleh Italia, Turki, dan Qatar.
 
"Yordania, Turki, dan UEA secara rutin dan kadang-kadang secara terang-terangan memasok senjata, dengan sedikit upaya untuk menyamarkan sumbernya yang melanggar embargo senjata PBB,” kata laporan baru-baru ini.
 
Tetapi "tidak ada pihak yang memiliki kemampuan militer secara efektif memutuskan hasil untuk keuntungan mereka".

Kekuatan LNA


LNA juga sudah diperkuat oleh tentara bayaran Rusia dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa kelompok terbesar Sudan yang bermarkas di Libya pernah berperang di Darfur, wilayah bergolak Sudan barat, dalam serangkaian pemberontakan terhadap milisi dan pasukan yang dikirim oleh rezim represif di Khartoum.
 
Komandan tentara bayaran Sudan mengatakan gelombang baru rekrutmen termasuk banyak yang telah berperang melawan pemerintahan Omar al-Bashir, yang digulingkan pada April ketika militer Sudan menarik dukungan mereka sesudah berbulan-bulan protes populer.
 
Salah seorang mengatakan bahwa banyak yang telah direkrut di Darfur dalam beberapa bulan terakhir. Sementara yang lain telah melakukan perjalanan dari sana ke Libya untuk mendaftar.
 
Semua komandan yang diwawancarai berkata, mereka berharap untuk kembali ke Sudan guna berperang melawan pemerintah transisi saat ini, yang dibentuk setelah jatuhnya al-Bashir.
 
"Saya tahu bahwa kami adalah tentara bayaran dan kami tidak bertarung dengan kehormatan dan martabat, tetapi ini hanya sementara. Kami akan kembali ke rumah setelah selesai dengan misi di sini," seorang tentara bayaran mengatakan, seperti dikutip dari Guardian, Rabu 25 Desember 2019.
 
Komandan lain mengatakan bahwa pertempuran sebagai tentara bayaran di Libya adalah satu-satunya cara mendapatkan sumber daya yang diperlukan buat melawan negara Sudan di masa depan.
 
Dia mengatakan dia tidak berharap al-Bashir akan digulingkan tetapi, meskipun kejatuhan diktator veteran telah "mengubah persamaan politik", pemerintahan transisi yang baru di Khartoum tidak berbeda dari rezim sebelumnya.
 
"Kami tidak percaya bahwa Omar Al-Bashir menghilang. Kami sekarang di Libya, tetapi ada pertempuran lain yang menunggu kami di Sudan," tegasnya.
 
Seorang tentara bayaran level tinggi Sudan lainnya yang bermarkas di dekat Tripoli mengaku kepada Guardian bahwa mereka ‘tidak punya jadwal’ meninggalkan Libya, tetapi keberadaan di negara itu hanya sementara.
 
"Kami berada di sana hanya untuk memiliki pangkalan yang aman dan demi mendapatkan senjata dan logistik militer lainnya untuk kembali ke Sudan," katanya.

Faktor destabilisasi

Jalel Harchaoui, seorang ahli di Libya di Clingendael Institution di Den Haag, mengatakan bahwa masuknya tentara bayaran baru bisa menjadi faktor destabilisasi yang signifikan dalam jangka panjang.
 
"Orang-orang muda datang untuk mencari uang. Bisa jadi satu tahun, dua tahun atau lebih tetapi akhirnya konflik akan mereda. Pada titik tertentu mereka akan mulai kembali ke rumah (ke Sudan)," katanya.
 
Muncul juga klaim bahwa kontingen besar militan Sudan dari Pasukan Dukungan Cepat (RSF), paramiliter yang dikerahkan ke Libya atas permintaan Hafter.
 
Laporan PBB terbaru mengatakan bahwa seribu tentara Sudan dari RSF, yang telah dituduh melakukan kekejaman besar awal tahun ini dan di Darfur, dikerahkan ke Libya pada 25 Juli 2019 oleh Mohamed Hamdan Dagalo, seorang panglima perang yang menjadi pejabat senior. Ia juga dikenal sebagai Hemedti. Tentara bayaran Sudan juga terlibat dalam penyelundupan dan kegiatan lainnya.
 
Seorang komandan bertutur, dia membantu penyelundupan imigran dengan harapan melakukan perjalanan ke Eropa melintasi perbatasan antara Sudan dan Libya, dan padang pasir yang mematikan.
 
"Anda tahu ketika para militan tidak melakukan apa-apa, mereka harus bekerja, jadi mereka kadang-kadang menyelundupkan orang," katanya.
 
Tim Eaton, seorang ahli Libya di Chatham House, London, mengatakan tentara bayaran diketahui memeras uang dari penyelundup dan dari imigran.
 
"Ini biasanya berarti menaikkan 'pajak' dengan memfasilitasi atau menghalangi mereka," kata Eaton.
 
Seorang komandan Sudan mengatakan bahwa pasukannya memainkan peran penting dalam ‘membebaskan’ ladang minyak yang direbut oleh pasukan Hafter.
 
Klaim itu dikuatkan laporan sebelumnya dari panel ahli PBB yang mengatakan tentara bayaran Sudan membantu LNA mengamankan ‘sabit minyak’ strategis negara itu.
 
"Tanpa bantuan kami, mereka tidak akan bisa membebaskannya, kami berkontribusi 50 persen dari pekerjaan militer di sana," katanya kepada Guardian.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan